Selasa, 23 Februari 2016



TAMU DION


Padahal Dion baru saja duduk. Dia tengah kesal pada ayah ibu yang melarangnya nogkrong dengan teman-temannya.

"Buang waktu," kata mereka. "Mendingan waktunya dipakai buat mengaji. Sono ke rumah Engkong!"
Uh, nggak asik, masak ngaji melulu.

Apalagi kalau mau pacaran.

"Dosa!" kata Ibu.

Aku kan sudah remaja dan sedang banyak membutuhkan kasih sayang, hiks.
 
Tiba-tiba muncul sebuah kilatan dari langit. Cahaya itu mewujud bayangan putih bersinar, melayang-layang di depannya. Si kurus itu mundur tujuh langkah, salah satunya dengan debu, halah. Bukan najis, keles.
Bayang-bayang itu memiliki wajah. Dan Dion terpana pada wajah itu meski tak bisa menerka laki-laki atau perempuan. Yang jelas, wajah itu indah sekali. Alien dari mana ini? pikir Dion.
 
"Mndmh kdhjsdg bshghdg," kata alien itu.

"Ka-kamu ngomong apa?" Dion gemetar.

"Ghjdgf jfdjsjyue gdd."

"Ngomong apaan, sih?"

"Ihfgf nsshsss."

"Hhhh, kamu tuh ngomong apaan? Lagian kamu siapa sih?" gerutu cowok itu.
 
"Htrur dbdget dyfyruytred. Muiuwiur uyfdhs hft. Ugbhsg bddff, dhhgfgg hsdfd nghg. Rhbdhdk snsgfd hfjhyfuy ...."

"Ooo, kamu mau joget? Hayolah," teriak Dion. Tubuhnya yang tadinya gemetar segera teringat lagu goyang dua lima. Lantas saja dia merentangkan tangannya dengan mengacungkan dua jari kanan dan lima yang kiri.

"Ayo goyang jigo ... ayo goyang dua lima ...!"

Makhluk tersebut beristighfar. Lalu segera menyerahkan sepasang sarung tangan putih. Dion menghentikan tariannya.

"Kuryryr rueje dbcnsdhhe," tunjuk sang alien. Seolah menyuruh Dion memakainya.
Dion pun memasukkan tangan ke dalam sarung putih itu. Di bagian atas terdapat tombol-tombol. Dion menekan salah satu tombol. Dan tiba-tiba di hadapannya terhampar sebuah layar monitor virtual. Ia diminta mengklik bahasa Arab untuk bisa memahami kata-kata makhluk tersebut.
 
"Dion, mari ikut aku."

"Ke mana?"

"Kita akan mengunjungi angkasa raya."

Alien itu mengeluarkan dua buah bola seukuran kasti yang berwarna transparan. Tepatnya tidak berwarna namun menyala-nyala seperti cahaya lampu neon.

"Ini adalah alat pemecah molekul tubuh," ucap makhluk itu mengarahkan salah satu bola ke dada Dion.
Dan tubuh Dion perlahan bias. Awalnya kaki, kemudian perut, dada, tangan dan terakir wajahnya. Tubuh Dion pecah menjadi gelombang kecil dan terhisap ke dalam bola tersebut. Sehingga ia bisa bebas melayang di udara.

Si giyanteng kayak sekoteng belum mateng itu diajak mengunjungi Planet Alpheer. Planet yang bercahaya putih. Sekelilingnya diliputi awan-awan lembut yang terbang rendah dan pelan. Ada beberapa kolam berwarna putih dan beraroma amat lezat. Dion ingin sekali masuk ke dalamnya.
 
"Jangan! Kau dilarang memasukinya?"

"Kenapa? Aku ingin sekali menyentuh awan-awan lembut itu," rengek Dion.

"Tidak. Planet ini hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang menjaga sholatnya tepat waktu."

Dion menganguk-angguk dengan perasaan diliputi penasaran.

Makhluk itu kemudian membawanya ke planet Nhyme. Planet ini berwarna keunguan. Langitnya berwarna violet. Ada barisan debu angkasa berkerlip-kerlip. Tapi bukan. Itu bukan debu. Melainkan peri-peri kecil yang memiliki sayap dan terbang kian ke mari. Di dalamnya terdapat taman anggur yang nampak ranum sekali. Dion ingin memetiknya.

"Jangan, kau tak boleh memakannya."

"Kenapa lagi?" tanyanya.

"Anggur itu hanya diperuntukkan buat mereka yang rajin berpuasa."

Makhluk itu membawanya kembali ke Planet yang lain, Kali ini planet itu berwarna emas. Bersinar-sinar sehingga dari jarak seratus kilometer saja Dion sudah merasakan kemegahannya.
 
"Yang ini aku boleh memasukinya?" tanya Dion.

"Tidak. Ini hanya untuk orang-orang yang membasahi lidahnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an."
Dion menelan ludah.

"Lalu mengapa kau ajak aku ke sini ? Jika semua itu tak boleh aku masuki?"
Makhluk itu membawanya pergi.

"Masih ada satu planet lagi yang ingin kutunjukkan kepadamu."
Mereka memecah molekul lagi ke dalam bola kristal.

Mereka menelusuri angkasa. Kali ini di tengah perjalanan Dion merasakan kegerahan. Dahinya mulai berkeringat. Alien di depannya menghentikan terbang. Dari kejauhan nampak sekumpulan planet. Planet-planet itu umumnya berwarna merah. Ada satu yang paling besar dan tepinya berkobar-kobar menyala.

"Kumpulan planet apa ini?" tanya Dion.

"Ini adalah gugusan planet buangan."

"Apa maksudmu?"

"Planet ini berisi benda-benda bahkan manusia tak berguna yang harus dibuang dari alam maya pada. Karena keberadaan mereka yang pendosa dan banyak menyiakan waktunya untuk berbuat dosa."
 
"Ap-apa nama planet ini? Apakah ini ne-neraka?" tanya Dion takut. Keringatnya mulai membasahi kemejanya. Ia melihat beberapa benda angkasa yang beredar di sekitar daerah orbit planet itu hancur dan meledak saat mendekatinya.

Makhluk itu tak menjawab sama sekali. Dion bersyahadat. Lalu masuk kembali ke dalam bola putih. Lalu ia jatuh di bawah jendela kamarnya.

Ia segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat isya serta mengikuti arah ayahnya ke rumah Engkong.

 
Tamat.

Cilincing, 2 Pebruari 2016

 Pasukan Semut Hitam


Alkisah  pasukan semut hitam
Dalam jumlah lima ribuan
Senjata pena  buku panduan
Mencari gula saling menguatkan

Ada teriakan
Ada diam
Namun semua
Rapi dalam satu barisan

Hingga bulan-bulan semakin tanggal
Tahun-tahun berputar mengelilingi  bualan
Sedang corong di sana mengumumkan nirwana
Gula  meraksasa menguarkan kilau keemasan

Semut-semut hitam kini berubah warna
Kepalanya telah putih bercahaya dan kulit  abu-abu menjelma
Jalan pun mulai goyah sendi kian lemah
tulang semakin renta

Lalu satu-satu
semut kelabu terdiam,
tak bergerak,
mati

Lima ribuan jumlahmu kini
satu-satu jatuh tersungkur memeluk asa
Dua ribu semut tengah merayapi entah tali apa
Tiga ribu sisanya terseok entah sampai mana

Cilincing, 24 Februari 2016
TAKDIR SEBUAH HARAPAN   

Versi 2


Harapan adalah tipuan. Harapan adalah udara di ujung sedotan saat terkungkung dalam sumur kegelapan. Kita bisa menghirupnya tapi tak dapat hidup lama dengannya. Dan kau, Danu, kau pria tertampan pertama yang kukenal. Aku mencintaimu setulus hati. Kau serupa angin yang selalu mengiringiku.

“Dan, kapan kau mau melamarku?”

Kau masih duduk di salah satu ayunan besi itu. Mulai mengayunkan kaki, lalu bergerak maju mundur. Angin memainkan rambutmu.

“Entahlah. Aku tak tahu.”

Selalu itu saja jawabanmu. 

“Kau tak ingin kita beriringan di depan altar? Mengenakan warna kontras hitam putih, melempar buket pada para jejaka dan gadis di sana?”

Kau payah, Dan, sama persis dengan ayunan itu. Hanya bergerak maju mundur, tak pernah sampai ke satu titik tertentu. Aku mulai bosan. Andai aku pergi, kau tentu akan tinggal di tempat. Menunggu orang lain datang memontang-pantingkanmu ke sana ke mari saja.

Kulantunkan munajat setiap malam. Kutulis harapan itu pada kertas, kumasukkan dalam botol, kulempar ke laut sejauh bisa. Berharap suatu saat yang menemukannya mengadukan pada langit.

Kutulis lagi surat yang lain. Kuletakkan di bawah bantal. Bermimpi kau melamarku dalam tidur. Kutitipkan surat itu pada pria-pria salih di gereja, wihara dan masjid. Tapi sekian waktu kau masih saja ambigu.

“Dan, sampai kapan begini?”

Kau tertunduk. Tubuh masih disandarkan di atas kursi besi bertali itu.

Kutulis lagi harapan pada selembar kain salat, sepanjang sisi kiri hingga kanannya. Barangkali kali ini Tuhan mau membacanya. Tapi, selain tak mendengar, Tuhan pun tak membaca tulisanku.

Aku marah. Kesal. Tak ingin mengharapkan apa-apa lagi. Hingga suatu hari anakku menarik tanganku, menuntun pada sebuah pusara.

“Mama, sudah dua puluh tahun. Relakan ….”

Ah, Nak, kau sudah besar. Kau cantik sekali. Matamu cokelat. Wajahmu bulat. Kau mewarisi gen pria angin itu.

“Apa yang masih mama harapkan?”

Baiklah, anakku. Aku ingin bercerita tentang pria angin yang sangat kucintai.

Lalu aku mulai menceritakannya pada putriku. Lalu pada setiap orang yang lewat. Lalu aku mulai mengungkapkannya juga pada burung, kucing, ikan di akuarium. Lihatlah, mereka tertawa. Orang-orang di luar sana kini semua tertawa kepadaku. Dan aku mampu tersenyum sepanjang waktu. Hanya anakku saja yang kelihatan masih bersedih.

Tamat

Jakarta, 2 Pebruari 2016
Wanita Ranting


Akulah suci
wanita tanpa dedaun
hanya ranting kering berderak patah

Pernahku cemburu pada rimbun
yang menggeliat dalam dekap angin: basah!


Ingin kucuri satu tangkai berhelai
tuk sekadar tamatkan perjanjian
petualangan batang tanpa harapan
tiada buah sejak akar


Masih
kumenanti peluk matahari
tuk hidupkan kembali benih hijau pati
meski kelopak tlah letih


Sesunyi bumi yang diacuhi bulir padi
Selengang padang yang ditinggalkan ilalang
Hanya panas terik mentari
Meretak-retak petak hati



Cilincing, Agusuts 2015
 

PESAN MENJELANG PERSALINAN

 
Allahummah faz waladi madama fi batni
Anta syafi’ laa syifa’a illa syifauka
La yughadiru saqama ….
Allahumma shawwirhu fi batni shurotan hasanatan
Kasuroti Nabi Yusuf alaihi salam
Wa tsabbit qalbahu imanan bika wabi rasulika
Allahumma tawwil umrahu wasahhih jasadahu wa hassin khuluqahu
wafsih lisanahu Wahsin shoutahu liqira’atil qur’ani wal hadits
Bibarakati Muhammadin sallallahu alaihi wa sallam

“Baca doa itu sering-sering selama hamil hingga menjelang lahiran nanti.” Itu pesan ibuku.

“Nanti kalau mau lahiran, sering-sering mengepel dengan berjongkok ya, La,” pesan ibu mertua.

“Saat keram perutnya nanti, tengoklah jam, kalau masih keramnya selang sejam jangan buru-buru ke dokter. Itu berarti baru pembukaan satu.”

“Oh, begitu.”

“Ya, kalau keramnya sudah tiap lima menit baru ke rumah sakit.”

“Iya,” sahutku.

“Nah, kalau mengejan nanti, jangan bersuara.”

“Jangan bersuara bagaimana?”

“Jangan mengerang. Cukup katupkan gigi dengan gigi, lalu mengejan tanpa suara.”

“Memang kenapa, Ma?” tanyaku pada keduanya.

“Mencegah kejang pada otot leher.”

“Oh” sahutku.

“Lalu pandangan mata diarahkan ke bundaran perut.”

“Bukan bundaran HI, Ma?’ tawaku cekikikan.

“Huss! Jauh banget,”

“Hahaha,” aku tertawa.

“Kedua tangan memegang paha bagian dalam.”

“Terus jangan sekali-kali mengangkat bokong.”

“Kenapa lagi itu, Ma?”

“Supaya tidak mendapat jahitan.”

“O, gitu. Iya iya akan kuingat-ingat semua, aku cataaat,” teriakku.
Saat melahirkan tiba, perutku terasa sangat mulas. Belum apa-apa aku sudah menangis.

“Mamaaa …!” teriakku.

Aku lupa semua ajaran kedua wanita yang sama-sama punya pengalaman melahirkan sembilan kali itu.

 

Tamat 
Jakarta, 14 Mei 2015
Aku bisa!


Sebenarnya aku bisa saja
Membiarkanmu di depan teras
Saat itu hujan deras

Kau bungkusi satu-satu kenangan lama
Mengikatnya pada tiang lupa
Meninggalkanku penuh darah: luka!

Namun ragumu berayun tertiup angin sampai
Pandangmu lemah sarat serapah
Buatmu sendiri saat kemarau hujan tak datang 
Seperti debu yang memenuhi paru tenggorokanmu 
:hitam!
Suaramu parau

Adakah sesal?
Tiada guna  kubuka gerbang itu
Biar kuberserah pada takdir Tuhan

Cilincing, 3 November 2015
BELLA DAN CHIKA


Di suatu pagi yang sudah agak siang tapi belum terlalu sore, Bella berjalan terburu-buru. Suasana lumayan gegap. Ia berjinjit-jinjit menghindari liang-liang di jalan. Banyak sekali genangan air hujan bekas gerimis semalam. Celana jins ketatnya membalut kaki yang kurus.

Tas merah muda berumbai-rumbai terselempang di bahu. Sebuah kecrek kecil didekapkan ke dada. Mau ikutan? Enak aja. Dadanya rata kok. Tapi, ke manakah sesungguhnya ia menuju? Mendingan nyanyi dulu, ney.

Ke mana … ke mana … ke mana ….
Kuharus mencari ke mana ....

Okey, masih bisa digoyang? Sambung nanti lagi deh, soalnya dia sudah sampai di tempat tujuan.

“Hai!” sapanya kepada Chika yang memandang dari bangku taman.

“Hai juga,” sahut Chika.

“Lama nggak nunggu gue, cyin ...?”

“Nggak, cyin, gue baru dateng, kok.”

“Oh .... Udah makan?”

“Udah.”

“Udah minum?”

“Udah.”

“Udah mandi?”

“Keterlaluan banget sie pertanyaan lo. Belom lah. Udah cepetan sini, keburu sore nih,” kata Chika nggak sabar.

Si Bella tertawa. Setengah terbahak setengah malu-maluin. Lalu membuka tas. Mengeluarkan dua lembar KTP bertuliskan nama Ahmad Burhan dan Saparudin.

“Nih punya gue, nih punya lo.”

Seketika situasi menjadi nyenyat. Seiring renyut jantung mereka. Chika buru-buru memasukkan miliknya ke dalam tas.

“Udah, buruan ah. Ntar keburu dateng KAMTIB.”

“Yuuuk.”

Lalu keduanya mendatangi satu persatu mobil yang lewat di depan taman sambil membawa kecrek dan kantong bekas bungkus permen. Masih bisa digoyang?


Tamat

Jakarta, 1 Juli 2015
Hujan Air Mata


Desember datang lagi
gagak hitam pulang kandang


Jakarta, 1 Desember 2015
ORANG-ORANG DALAM LUKISAN

Sebenarnya Aliya sudah mengantuk. Namun suara-suara dari dalam ruangan itu mengusiknya. Ruangan itu sangat besar. Ada delapan lukisan dengan pemandangan alam berbeda-beda. Di salah satunya, air bergemericik di antara rumah anggur berwarna ungu cerah. Sementara lukisan lain, keluarga kupu-kupu tidur di atas rumah bebungaan. Lukisan lain lagi, beberapa ilmuwan tengah berkumpul di dekat teropong besar.

Aliya mendekat, menempatkan sebelah matanya di ujung lensa. Orang-orang dalam lukisan itu tersentak.

“Aku menemukan sesuatu!“ teriak Profesor Kecaprut. “Kelihatannya di angkasa sedang terjadi gerakan kosmis penuh cahaya!” Sontak orang-orang berkerumun. Aliya memelototkan matanya.

“Wuaaa … aku melihat mata! Dapat kupastikan itu memang sebuah mata. Mata yang teramat besar!” seru Profesor Kubnut.

“Itu mata Tuhan!” tiba-tiba Profesor Dambledut berseru. “Tuhan yang telah melukis kita. Tuhan yang membuat kita ada, “ lanjutnya berapi-api.

“Mana mungkin! Kau selalu saja mengaitkan apapun yang ada di luar semesta kita dengan tuhan!” kesal Profesor Kecaprut. “Astronomi membuat kita semakin modern. Dan manusia modern seperti kita tidak boleh kembali ke masa primitif.”

“Tuhan dan dewa hanya isapan jempol pengganti ketidaktahuan dan ruang tak terbuktikan terhadap metafisika,” seru Profesor Cabadut.

“Itu benar. Saya setuju,” timpal Profesor Kubnut.” Sebagian orang membungkusnya dengan dogma-dogma dan aturan ritual yang hanya memuaskan elemen kebodohan. Padahal dengan teropong tercanggih ini, kita bisa membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Semesta ada dengan sendirinya. Tanpa campur tangan siapa-siapa.”

“Ah, kalian, kita ciptakan teropong itu justru untuk membuktikan kemahabesaran-Nya,” keluh Dambledut.

“Hey, kau! Jangan sampai terulang kisah Profesor Gelael yang dulu pernah membuktikan bahwa lukisan tempat kita berdiam berbentuk segi empat. Tidak bundar seperti kitab-kitab buatan tangan mereka.”

“Sini kulihat lagi!” penasaran Prof Cabadut.

Aliya mengangkat wajah. Kini hidungnya yang ditempelkan.

“Itu bukan mata!” teriak Cabadut, “itu benda angkasa berbulu yang dipenuhi kawah-kawah komedo. Kuperkirakan usianya sudah jutaan tahun. Mungkin benda angkasa yang melayang abadi di udara!”

Para ilmuwan itu saling melempar teori.

“Hoaaahm ….” Aliya merasa semakin mengantuk. Ia bergerak mematikan lampu lalu meninggalkan ruangan.

“Baiklah, berakhir sudah. Cahaya kosmis  tiba-tiba   menghilang. Kita harus mengadakan penelitian lebih lanjut  benda angkasa yang lewat sekilas tadi. 
Esok, kita buat teropong yang lebih canggih lagi.”

Tamat

Cilincing, 17 Februari 2016
Perempuan Seribu Luka

Untukmu yang kusebut perempuan
Bertahta gincu mencuri firdaus
Satu kedua dua ketiga seterusnya
Seribu suami dalam sehari

Ah kau, perempuan
Berpelamin di bulan pertama
Pikuk menagguk arus
Di bawah tangan air mata

Mahkotamu seribu pahlawan tanpa laku
Tiris waktu sia-sia
Sia-sia
Sia-sia!


Cilincing, 14 Februari 2016
SEBUAH WASIAT


Sonya ingin sekali mengumpat dalam hati. Pikirannya berkecamuk. Mukena kusut dan dekil yang dipakainya bergerak-gerak. Wanita itu ingin sekali marah-marah di sela bacaan salatnya.

Ya Allah. Bagaimana mau khusuk kalau mikirin perut keroncongan begini?

Diliriknya gadis kecil di samping kiri. Anak tunggalnya, Mutia terlihat tenang. Bagamana bisa anak kecil itu lebih baik sembahyangnya dari dirinya sendiri?

“Assalamu alaikum warahmatullah. Assalamu alaikum warahmatullah ….”

Suara imam menutup sembahyang berjamaah.

Dengan lemah dilipatnya mukena dan diletakkan kembali di atas rak ujung musala. Diikuti oleh Mutia.
Ditariknya sang anak ke samping.

“Heh, perutmu nggak lapar?” Sonia setengah berbisik.

”Lapar, Mak.”

“Kok kamu tenang-tenang saja?”

“Kalau salat kan harus konsentrasi, Mak.”

“Halah mana bisa kalau perut kerincingan begini?” Sonia menunjuk perut yang kurus kerempeng.

“Ayo, cari duit lagi.”

Sang anak mengikuti ibunya tergesa-gesa tanpa berbicara apa-apa lagi.

Sampai di luar, suasana pasar masih seperti semula. Riuh, panas, sesak oleh penjual dan para pembeli . Teriakan para pedagang kaki lima saling bersahutan, cukup memekakkan telinga. Tapi kedua ibu dan anak itu sudah terbiasa.

Seorang wanita muda lewat membawa keranjang belanja.

“Sini, Bu. Saya bantu angkatin.”

“Oh, nggak usah. Ibu mau naik mikrolet saja.”

Sonia menggigit bibir bawahnya.

Tak berapa lama dilihatnya seorang nenek yang membawa belanjaan cukup banyak.

“Saya bantu ya, Bik?” pintanya.

Nenek itu menoleh dan menggoyangkan tangannya. Sekonyong-konyong mengangkat belanjaannya ke atas punggung dan mengikatnya dengan emban.

Sonia kembali mengepalkan tangannya dengan kesal. Sejak pagi sampai zuhur begini baru dua orang yang mau dibantunya. Itu pun hanya memberi upah seribu perak. Cukup apa? Perutnya keroncongan hanya diisi air es teh selama enam jam ini. Anaknya juga.

Mata Sonia nanar. Diperhatikannya tiap orang yang berbelanja. Mereka rata-rata membawa dompet begitu saja di tangan. Kelihatannya para ibu itu sibuk sekali memilih atau menawar sayuran atau belanjaan lain.

Mungkinkah ia dapat mengambil kesempatan untuk memindahkan dompet atau sekadar uang sepuluh ribuan yang menyelip di kantong baju mereka? Ah, tidak. Itu dulu. Sebelum ayah Mutia meninggal. Dan mewasiatkan untuk mencari pekerjaan yang halal dan senantiasa menjaga salat lima waktu.

Tiba-tiba Mutia menarik tangan Sonia dan berbisik.

“Mak, lihat itu!” Gadis kecil itu menunjuk ke arah pedagang peci yang digelar di lantai pasar.

Mata Sonia membelalak menyaksikan. Seorang bapak tengah berjongkok memilih-milih beberapa peci. Lalu sebagian dicobakannya di kepala.

Bukan bapak itu yang menjadi fokus perhatian kedua perempuan itu. Tapi seseorang di samping bapak itu. Seorang lelaki muda yang sedang menyelipkan tangannya di saku sang bapak berpeci.

Tiba-tiba mata mereka bersirobok.

Deg!

Jantung Sonia berpacu cepat. Merasa diawasi, si pencopet melotot. Sinar matanya menyiratkan sebuah ancaman.

“Mak …,” bisik Mutia ketakutan.

Menyadari bahaya, Sonia menarik tangan anaknya, mengajaknya pergi dari tempat itu.

“Sudah, kita pergi saja dari sini. Itu bukan urusan kita.”

“Mak, orang itu mau apa?” tanya Mutia.

“Sssst, diam.”

“Kayaknya orang itu mau ngambil uang, Mak.”

“Hus! Diam.”

“Cepat, kasih tahu bapak itu, Mak. Kasihan kalau sampai dompetnya hilang. Padahal kan kita melihatnya, ya?”

“Hus, diam kubilang. Ayo cepat pergi.”

“Tapi, Mak ….”

Mutia bergegas jalan menuruti ibunya, namun matanya masih dilayangkan ke arah orang yang hendak mencuri tadi.

Kedua orang itu berjalan di antara kerumunan pasar.

Tiba-tiba terdengar keributan. Teriakan marah, suara pukulan dan caci maki bersatu padu dengan suara orang mengaduh.

“Ampuuun … ampuuun … Pak ….”

Keduanya menoleh. Orang-orang berkerumun di tempat yang baru saja mereka lalui tadi.

"Tolong, Pak ... sudah, Pak ... ampun ...."

Apakah …?

Ya. Benar. Lelaki muda itu sedang dipukuli beramai-ramai. Ia terjatuh dan sia-sia saja melindungi tubuhnya dengan dua tangan. Wajahnya bengkak, biru dan sedikit berdarah. Dua orang itu saling memandang dan bergidik melihatnya.

“Ayo, Nak, cepat pergi ….”

Air mata hampir jatuh di ujung netra Sonia. Terbayang jelas di pelupuk matanya, suaminya meninggal satu jam setelah pencuriannnya yang terakhir.


Cilincing, 4 November 2015
Surga Yang Hilang


Ada perih nan mendalam luka
kala Mustafa mewujud ayat-ayat cinta
aku menjadi juliet yang kehilangan romeonya
membagi hati di bawah bendera halaliah

"Bukankah satu hati untuk satu hati?" erangku
luka dan air mata beku tersaput bayu
senyummu diam memagar diri
Mustafa memimpi imam sejati

Lalu,
kuberlari ke barat ke timur
kulepas penyangga dada satu per satu
demi rona dan harga diri yang terjeda

"Mari sini!
Cicipi tubuh penuh syahwat!
Habis harga diri, mati!

sakauku di ambang sadar
rindu surga nan lama hilang
dalam desah kepasrahan
"Ah, mengapa romeo dan juliet
terlalu dibesar-besarkan?"

dingin malam ini terasa hingga ke jantung
menusuk-nusuk belulang asa
meski darah di serambi kanan memerah saga
detaknya masih berirama luka

di bilik kiri, namamu tak mau pergi
anyir cintamu mengkontaminasi hati
letihku kehabisan hemo mimpi
lesu menuju sekarat, mati!

Cilincing, Agustus 2016

Senin, 22 Februari 2016

SINES


Saat itu bulan Ramadhan. Kutinggalkan kampung halaman karena ingn mencari uang. Kebetulan seorang kerabatku yang tinggal di Jakarta mengatakan ada lowongan kerja di pabrik garmen. Alhamdulillah. Aku pun melamar di sana dan diterima.

Namun saat ini kepalaku pusing. Kata Pakde, di kampung sakit ibu tambah parah. Sewaktu  kutinggalkan, ibu memang sedang sakit.

"Tengok dulu ibumu, In."

Aku baru saja diterima bekerja. Meminta ijin sekarang berarti sama saja mengajukan pengunduran diri. Pegawai yang tidak masuk sehari saja, langsung dikeluarkan. Yang mengantri melamar setiap hari penuh sesak di depan pabrik. Aku sedih mendengar nasihat pakde.

"Bagaimana mau pulang? Lah, pekerjaanku liburnya nanti, tiga hari sebelum lebaran.”

"Ya disempatkan toh? Ibumu sakit! Kasihan kan, cuma dijaga Sines. Kamu tahu sendiri Sines itu gimana?”

Perkataan Pakde membuat hatiku bertambah miris. Aku menarik napas panjang.

“Bagaimana ini?” keluhku. “Dia kan rajin, Pakde. Dia pintar merawat rumah seperti selama ini dia merawat kami.”

“Bukan soal merawatnya, tapi kalau penyakit ibumu kambuh tiba-tiba, apa dia bisa membawa ibumu ke puskesmas? Ke mantri? Ke dokter?”

Oh, Tuhan. Aku galau berat.

Benar juga kata pakdeku. Sines itu saudaraku yatim yang mengikuti keluarga kami sejak kecil. Pada saat usianya remaja ia pernah mengalami sakit panas tinggi yang menyebabkan kesulitan bicara dan berpikir selayaknya usianya.

Dia memang rajin, terakhir aku percayakan untuk mengawasi ibu. Dan dia cukup apik melakukannya. Apalagi saat aku ke Jakarta ibu sudah baikan. Tapi benar juga kata Pakde, dia tak mugkin dipercaya soal penyakit ibu.

Dengan hati gelisah kubuka handphone. Jam pabrik baru saja usai. Kupilih nomor ibu di kampung dan memulai percakapan

"Hallo, salam likum,” sapaku.

“Hum halam.” Terdengar suara berat dengan kalimat yang khas

“Ini Sines, ya? tanyaku.

“Hiya, hini Hines. Mba Hina, ya?” terdengar suaranya. Semua kata selalu diberi tambahan h seperti itu.

“Iya, ini mbak Ina. Gimana keadaan ibu?”

“Hibu hudah meninghahhh, Mbak,” katanya terbata-bata.

Apa? Ibu sudah meninggal? Astaghfirullahal azim. Serta merta aku terduduk lemas. Mataku mulai berair. Penyesalan menyeruak di dada, mengapa lebih mementingkan pekerjaan ketimbang kondisi ibu.

“Ibuuu ...,” jeritku pilu.

Segera kukemasi baju seadanya. Malam itu pula aku maghriban dan buka puasa di jalan. Tak lupa kutelepon beberapa kerabat yang lain. Air mata tak hentinya menetes di pipi sepanjang perjalanan. Pakde pun marah dan berjanji segera datang.  Perlu waktu empat jam naik bus sampai di kampungku.

Tepat pukul 10.00 aku baru sampai di rumahku di Pemalang.

“Sineees ...!” teriakku menggedor pintu

Sampa tiga kali teriak, barulah Sines keluar sambil mengucak matanya yang merah.

“Mba Hina hatang, mba Hina hatang!” serunya.

“Iya, iya.” Kulepaskan diri dari pelukannya.

“Sines, kenapa kamu tega nggak menemukan aku dengan ibu?” teriakku.


“Kuburannya di mana?” tangisku sesenggukan.

“Hiapa yhang dihubul, mbak?” Sines kelihatan kebingungan.

Tiba-tiba ibu keluar dari kamar.

“Ada apa ini? Ina, kenapa datang nggak bilang-bilang?” Ibu lantas mendekatiku.

Loh, kok? Apa itu arwah ibu yang masih mengitari rumah ini?

Serta merta kutarik Sines.

“Sines, itu ibu kan?”

“Ya hiya, Mba ….”

“Kamu bilang di telepon, ibu sudah meninggal.”

“Hiapa bilang meningah, Mba? Hibu udah mendingah, men-ding-ahhh,” jelas Sines.

Mendingan? O … Segera kupeluk ibu erat-erat. Terbayang aku tak dapat kembali bekerja di pabrik karena kebodohanku sendiri.


Cilincing, 16 April 2016
Lelaki Rembulanku


engkau lelaki rembulan
pemilik rindu paling kelam
aku daunan layu
jatuh sinarmu di atas aku

masihkah angin semilir bayu
sedang tangkai tak lagi ayu

aku tertatih
merangkak
merayap
mengendap

bedilku hangus,
jendralku habis dengus
seragam robek sana-sini
darah mengering kucur

namun aku belum ingin kembali
meski di sini telah habis amunisi
bak tentara di tengah perang
masih hendak berjuang

Cilincing, November 2015

Sabtu, 20 Februari 2016

TAKDIR

Tak ada yang bisa mendahului takdir Tuhan. Manusia tidak bertindak selalu atas kemauannya sendiri, namun kadangkala terpaksa oleh keadaan. Seperti aku dan suami yang terdampar di pedalaman kampung ini.

“Mas, ayo cari jalan pulang. Aku udah nggak tahan tinggal di sini.”

“Sabar, Sayang. Kita harus membantu orang-orang itu dulu.”

“Ah seminggu cukup sudah. Toh nanti ada tim khusus yang jadi relawan membantu angkat-angkat. Bukankah sudah biasa para tetangga saling menolong di kampung ini?"

"Iya, tapi kita nggak mungkin pulang duluan. Kita cari saja lagi kotak hitamnya.”

“Dimana sih kotak hitamnya?”

“Sabar … sabar…”

“Harus berapa lama lagi?”

“Sabar, ya?”

“Nggak bakalaan ada di sini, nggak akan ketemu, sudah kita pulang saja.”

Huh!

Akhirnya, setelah dua minggu menginap di rumah saudara ipar yang mengadakan perhelatan nikah ini, bisa juga kami kembali ke Jakarta.

Di sini, di daerah pinggiran Jakarta, rumahku ini, getuk hitam ditabur kelapa dan gula pasir adalah panganan yang sudah menjadi makanan langganan kami yang dijual Bik Inong setiap hari.

Oh, sedaaap.

Cilincing, 7 November 2015
Mewarnai Cintamu


 Di langitku yang jingga
nampak pelangi dua warna,
hitam putih saja,
dan itu rambutmu Kanda.

Maka iznkanlah kusesap,
di awanku yang mulai pengap,
agar mentari tak lagi memucat
di ujung takdirku yang pekat

Namun mengapa laut membayang
perahumu terkilau gelombang
mengombak diayun gamang
dan itu hatimu Sayang..

Tak fahamkah kau
bumiku mulai menghijau
disubur mawar melati
itu aksaramu kasih

Usah tunggu dermagaku membiru
diletih temali kekang ambigu
meski buritanku tetap memerah jambu
malu-malu merinduimu

Cilincing, Agustus 2016

MAS, CEPAT PULANG!


 
Pukul sepuluh malam. Hujan deras sejak sore. Suamiku belum pulang.

‘Ada rapat dadakan. Jam sepuluhan aku pulang.’ Tulisan di layar handphoneku.

Bik Inah yang sedang menyiapkan tas persalinanku tiba-tiba berteriak.

“Aaah …! I- itu, di jendela apaan, Neng?”

Sebuah bayangan hitam tinggi besar melotot ke arah kami. Ia menunjuk-nunjuk perutku. Hidung dan matanya tampak besar karena menempel di kaca.

“Aaah … Bibik … tolooong.”

“Neeeeng.”

Kami berpelukan

Bayangan di jendela itu semakin nampak jelas. Rambutnya acak-acakan. Giginya besar-besar. Mulutnya bergerak-gerak tapi tak terdengar suara apa-apa. Dia terus saja menunjuk-nunjuk ke arah perutku.

“Neng, Jangan-jangan itu hantu yang mau ambil bayi Neng.”

Aku gemetar. Sebisa-bisanya kami baca-baca. Bik Inah komat-kamit sambil melambai-lambaikan tangan mengusir makhluk itu.

“Hus! Hus! Pergi! Jangan ganggu anak bagong. “

Aku pun mengikuti gerakannya. Dengan tertatih-tatih kami menuju pintu keluar
Suasana di luar sepi sekali. Ada sebuah becak di sana. Dan seseorang menepuk pundakku

“Neng, ayuk Mamang anter ke bidan. Jang Krisnanya mau ambil uang dulu di ATM depan jalan. Bajunya kuyup. Dari tadi saya kasih isyarat tapi Neng malah ngusir-ngusir saya.”

Hah? Tak lama kulihat Mas Krisna masuk rumah sambil menenteng sepatunya.
Aduuuh, muleees.

END

 
Cilincing, 160415
Kepam Rindu


Aku hanya bocah
Bermodal polos tanpa prasangka
Begitu riang senyum terpana
Pada wajah ibu yang kuimpi lama

Ayah datang bersamamu, 'Ibu'
Senyum manis janjikan rona biru
Namun tak perlu waktu lama
Seringai menguar mengganti tawa

Di lembah benci kau lepas tangan
Hati ini terus menggelebah legam
Hanya sepi temani hari
Pagi senja kumenyendiri


Cilincing, Agustus 2015


SI GIMBAL

Tak pernah kusangka akan bertemu dan jatuh hati kepadanya. Seorang pria berkulit hitam, yang badannya besar dan berambut gimbal. Dia berasal dari Bojonegoro. Sebuah desa di  pegunungan Dieng.

“Dik, aku yang main gitar, adik yang baca puisi ya?”

“Baik, Mas.”

Lalu kami pun menghabiskan waktu dengan nembang dan membaca syair-syair.

Konon dahulunya di gunung Dieng bersemayam dua arwah yang saling mencintai. Namun keduanya tak mendapat restu dari orang tua, sehingga memutuskan untuk kawin lari. Lalu tinggal di gunung tersebut. Orang tua mereka mengutuk dan jadilah anak keturunan mereka memiliki rambut gimbal.

Rambut yang seperti ijuk, keras, kasar dan sulit dipangkas. Baik wanita maupun prianya memiliki rambut gimbal yang sangat panjang, karena sejak kecil tak berani mengguntingnya. Apabila berani, maka tak lama kemudian akan sakit, bahkan sampai menyebabkan kematian.

“Malam minggu depan Mas akan datang lagi. Nanti kapan-kapan Mas ajak acara ruwatan tahunan ya, Dik. Tunggu saja,” katanya sambil tersenyum.

Aku pun balas tersenyum mengantarnya dari balik pagar.

Tiba-tiba ibu sudah ada di sampingku.

“Pokoknya ibu tidak setuju dengan pilihanmu!” Suara ibuku sungguh membuat hatiku pecah.

Mas Gimbal yang kukenal selama ini sangatlah baik. Suaranya halus, tak pernah marah, dan selalu setia serta melindungiku ke mana saja pergi.

“Jangan begitu, Bu. Jangan menilai orang dari luarnya. Kan belum tentu luarnya kasar hatinya kasar juga?” bela bapakku. Aku masih bersukur karena bapak mau berpihak padaku.

“Ah pokoknya aku nggak suka. Jijik. Tidak pantas anak kita bersanding dengan lelaki berkulit hitam dan berambut seperti orang jarang mandi itu.”

Ah ibu nggak tahu. Mas Gimbal pandai bernyanyi dan membaca puisi. Sholatnya pun rajin.

“Nanti kalau ibu punya cucu, rambutnya akan gimbal seperti itu. Bagaimana bisa ibu sisiri dan hias dengan pita-pita atau bando? Nggak lucu,” ucap ibu masih sambil bersungut-sungut.

Aku tersenyum mengingat kejadian tujuh tahun silam. Bapak dan Ibu menyambut di pintu sambil menggandeng Chacha, putri sulung kami. Rambutnya yang gimbal kuurai dengan hiasan pita panjang.

"Ayo, Nak. Cium tangan Eyang," perintah Mas Gimbal kepadanya.


Cilincing, 150415 
Hujan Tadi Sore


tadi sore
hujan turun pertama
setelah berbulan-bulan
kota dipanggang matahari

sebabi asap mata buta
kepuli hutan sekian airmata
dan ranting-ranting kering
sekering doa-doa

lantunan bibir-bibir
patah hati
oksigen hilang
tak berani menatap pagi

di provinsi tetangga kami
bayi-bayi mati
daun tak suplai hidup lagi
berita televisi hari-hari

semburan air hanya mengalir di pipi
ispa tak kenan beri hirup
hujan sore ini berbalik ke langit
hari beranjak menua lebat

kini
negara langkah gontai
terpimpinkan anaknya
yang tak mengacuh rakyatnya

ternyata
Tuhan harus turun tangan jua


Cilincing, 7 November 2015
ORANG-ORANG DALAM LUKISAN
Sebenarnya Aliya sudah mengantuk. Namun suara-suara dari dalam ruangan itu mengusiknya. Ruangan itu sangat besar. Ada delapan lukisan dengan pemandangan alam berbeda-beda. Di salah satunya, air bergemericik di antara rumah anggur berwarna ungu cerah. Sementara lukisan lain, keluarga kupu-kupu tidur di atas rumah bebungaan. Lukisan lain lagi, beberapa ilmuwan tengah berkumpul di dekat teropong besar.
Aliya mendekat, menempatkan sebelah matanya di ujung lensa. Orang-orang dalam lukisan itu tersentak.
“Aku menemukan sesuatu!“ teriak Profesor Kecaprut. “Kelihatannya di angkasa sedang terjadi gerakan kosmis penuh cahaya!” Sontak orang-orang berkerumun. Aliya memelototkan matanya.
“Wuaaa … aku melihat mata! Dapat kupastikan itu memang sebuah mata. Mata yang teramat besar!” seru Profesor Kubnut.
“Itu mata Tuhan!” tiba-tiba Profesor Dambledut berseru. “Tuhan yang telah melukis kita. Tuhan yang membuat kita ada, “ lanjutnya berapi-api.
“Mana mungkin! Kau selalu saja mengaitkan apapun yang ada di luar semesta kita dengan tuhan!” kesal Profesor Kecaprut. “Astronomi membuat kita semakin modern. Dan manusia modern seperti kita tidak boleh kembali ke masa primitif.”
“Tuhan dan dewa hanya isapan jempol pengganti ketidaktahuan dan ruang tak terbuktikan terhadap metafisika,” seru Profesor Cabadut.
“Itu benar. Saya setuju,” timpal Profesor Kubnut.” Sebagian orang membungkusnya dengan dogma-dogma dan aturan ritual yang hanya memuaskan elemen kebodohan. Padahal dengan teropong tercanggih ini, kita bisa membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Semesta ada dengan sendirinya. Tanpa campur tangan siapa-siapa.”
“Ah, kalian, kita ciptakan teropong itu justru untuk membuktikan kemahabesaran-Nya,” keluh Dambledut.
“Hey, kau! Jangan sampai terulang kisah Profesor Gelael yang dulu pernah membuktikan bahwa lukisan tempat kita berdiam berbentuk segi empat. Tidak bundar seperti kitab-kitab buatan tangan mereka.”
“Sini kulihat lagi!” penasaran Prof Cabadut.
Aliya mengangkat wajah. Kini hidungnya yang ditempelkan.
“Itu bukan mata!” teriak Cabadut, “itu benda angkasa berbulu yang dipenuhi kawah-kawah komedo. Kuperkirakan usianya sudah jutaan tahun. Mungkin benda angkasa yang melayang abadi di udara!”
Para ilmuwan itu saling melempar teori.
“Hoaaahm ….” Aliya merasa semakin mengantuk. Ia bergerak mematikan lampu lalu meninggalkan ruangan.
“Baiklah, berakhir sudah. Cahaya kosmis  tiba-tiba   menghilang. Kita harus mengadakan penelitian lebih lanjut  benda angkasa yang lewat sekilas tadi. 
Esok, kita buat teropong yang lebih canggih lagi.”

Tamat
Cilincing, 17 Februari 2016
Ayahku dan Setangkup Roti

 
sering kuterenyuh
memandangnya duduk bersimpuh
mengipasi nasib penuh peluh
topi kesabaran yang lusuh

badan legam merenta
membahu beban tiada habis
pandang sepatu menganga
iring langkah setua usia

ayah sering bercerita
tentang setangkup roti
dengan selai dan olesan mentega
harumnya di atas panggang sungguh menggoda

namun ia tak jadi membeli
demi aku di akademi
hingga gelar purna
kini roti kubeli dengan gaji pertama

tapi ia sudah tak dapat melihat
terguguk lesu di samping jasad
dan roti bakar ini masih saja hangat
sehangat mataku yang sembab

hanya tiang doa mampu kupanjat
semoga ayah bahagia di tempat layak
kubungkus roti dengan dada sesak
pahlawan berpulang tanpa kecap

Cilincing, 28 Juli 2015
TUGAS

Hati Salwa berdegup kencang. Ia sibuk mencoret-coret di atas kertas. Matanya bolak-balik dari gambar yang sedang dibuatnya ke sesuatu di dinding. Benda itu terus berdetak.

Terlihat makanannya tak habis, dan seorang wanita tengah mengikat sesuatu di kakinya. Dengan risih Salwa menggeser posisi duduknya.

“Cepatlah, Salwa, cepat!” Suara di pintu terus mengingatkannya.
Dengan gemetar gadis itu menorehkan garis-garis hingga menyerupa bentuk.

“Cepat, Salwa, cepat!”

Iya, iya, rutuknya dalam hati. Kesal dengan suara berat yang berasal dari dekat pintu keluar.

Gadis beralis tebal dan hidung mancung itu memoleskan warna-warna pada gambar tersebut.

“Selesai,” keluh Salwa sambil mengusap peluh di dahinya. Dan ia memasukkan gambar itu dalam tas di sisinya.

Satu sosok lagi keluar dari kamar mandi. Rambutnya panjang.

“Tunggu! Mana gambar itu. Aku ingin melihatnya,” seru sosok tersebut sambil bibirnya melantunkan sebuah kidung. Meski tak jelas benar lagu apa yang disenandungkannya

“Gambar apa itu?”

“Pemandangan desa,” sahut Salwa acuh tak acuh.

“Mengapa mataharinya tidak bulat? Jadi serupa balon. Dan cemaranya mengapa merah bukan hijau?”

“Ah, nggak usah protes deh, Mbak. Aku terburu-buru nih, bukannya bantuin.”

“Besok-besok main saja terus, sampai lupa pe-er!” seru  mama yang sedari tadi mengikatkan tali sepatunya.

“Ya. Tonton saja tivi semalaman,” sahut ayah segera keluar menghidupkan motor untuk memboncengi Salwa. Salwa pun terburu-buru memakai topi dan dasi merah putihnya lalu pamit pada mama dan kakak.

END

Cilincing, 1 Mei 2015
Bayang-bayang Perobek Hati


Hati
Berapa kali kau kubisiki
Tentang kepam yang menoreh diri
Membuat lebam matahari

Kini
Curahan sayang telah pergi
Bersama dayu yang ia cintai
Tapi mengapa kau tak sadar meski sekali?

Jangan diam melihatku menangisi
Setiap pecah yang ia beri
Bagai bocah yang merenangi
Lembah air matanya sendiri

Hati, sadarkah kau?
Gelebah menyiksa setiap malam
Berharap kau usir bayang
Entah pergi entah hilang

Di bawah birunya mega
Ingin kukayuh sepeda waktu
Namun kau menjingga
Tanpa peduli lelahku

Hati, tolong aku
Gerus bayang-bayang itu!

Cilincing, 4 Agustus 2015
MBAH RUKMO PINGIN UMROH
Mbah Rukmo sudah tua. Usianya mulai mengujung. Bahkan belakangan dia sering memimpikan istrinya. Mbah Rukmo kesepian semenjak istrinya wafat dua tahun yang lalu. Untungnya anak ke empatnya, Yuni, tinggal bareng dengan Mbah Rukmo setelah menikah dengan Kirno. Sedangkan tiga anak yang lain beserta mantu cucunya jarang berkunjung.
Wardana, anak pertama, di Surabaya. Dia sudah jadi pengusaha minyak sayur yang cukup sukses di sana. Miranti, anak ke dua, dibawa suami. Dia jarang datang, biasanya karena dilarang oleh suaminya itu. Yandi, anak ke tiga, tinggal bareng mertua karena istrinya anak tunggal.
“Ada apa, Bu? Kok sering datang? Apa mau menjemputku?” Lamunan Mbah Rukmo.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan mainan.
“Treet…tree…treeet….Dor!” teriak Denis, anak Yuni.
“Aaaa…..,” Mbah Rukmo terkulai lemas mati. Pura-pura.
“Ha…ha…ha…aku menang…aku menang…,” seru Denis kegirangan.
Tiba-tiba Mbah Rukmo bangun. Dengan serta merta pria tua itu memeluk Denis. Diciumi cucunya satu itu.
“Aduh, Cah Bagus, ngageti Mbah,” Mbah Rukmo tertawa terkekeh-kekeh. Teringat cucunya yang lain. Gimana cucu-cucuku yang di sana ya? Aku kangen. Kapan bias ngeliat mereka lagi. Paling-paling nanti pas lebaran. Mbah Rukmo membatin. Apa lebaran ini aku masih bisa kumpul sama anak cucuku semua? Rasanya aku hampir menyerah pada usia yang tambah renta ini. Tapi sebelum usia benar-benar purna, aku ingin sekali mengunjungi ka’bah. Menyempurnakan agama. Agar tunai rukun Islamku. Tapi biaya dari mana? Pergi haji kan mahal sekali.
“Umroh saja dulu, Mbah,” kata Kirno. Panggilannya membiasakan Denis menyebut Mbah. “Murah. Cuma delapan belas juta. Nggak pake daftar segala lagi Mbah,” lanjutnya.
“Oh ya?” Mbah Rukmo semangat.
“Iya. Delapan Belas juta langsung berangkat.”
“Delapan belas juta?”
“Iya Mbah.”
 Mbah Rukmo membayangkan dari mana dapat uang delapan belas juta. Aku punya rumah yang sekarang aku tempati. Tapi kalau ini dijual, di mana Yuni dan keluarganya tinggal? Mana mungkin mereka bisa membayar kontrakan bulanan yang mahal-mahal. Lagian ntar aku juga tinggal di mana? Bisa umroh tapi tinggal di kolong jembatan. Walah!
Mbah Rukmo menghayalkan keempat anaknya urunan. Delapan belas juta kalau aku bagi berempat sekitar lima jutaan. Ah, apa mereka bisa dan mau urunan? Tak apalah, akan aku coba minta. Sekaligus aku ingin melihat anak yang mana yang paling peduli padaku.
Sesudah sholat isya dan mengaji, malam itu Mbah Rukmo memanggil Yuni dan Kirno.
“Yun, Bapak pingin sekali umroh,….” Mbah Rukmo menggantung kalimatnya. Melihat reaksi kedua anak mantunya.
“Kata suamimu, biayanya delapan belas juta.” Kirno manggut-manggut separuh ngantuk. Kayaknya sudah capek tadi siang manggul barang di pasar banyak sekali.
“Anak Bapak ada empat. Bapak minta tiap anak nyumbang lima juta,” lanjut Mbah Rukmo.
Kali ini Kirno membelalak. Tiba-tiba ngantuknya hilang. Yuni memandang ke arah suaminya. Sebelum keduanya menjawab apa-apa Mbah Rukmo minta Kirno menuliskan pesan sms.
“Assalamu alaikum, Bapak pingin umroh. Minta sumbangannya lima juta. Sukur-sukur kalau lebih. Ditunggu balasannya besok pagi jam delapan.” Tiga kali sms yang sama terkirim ke nomor yang berbeda.
“Sudah, No?”
“Sudah, Mbah,” jawab Kirno.
Sesudah itu Mbah Rukmo berangkat tidur dengan sesungging senyum di bibir. Tinggal tunggu bagaimana jawaban anak-anaknya besok. Perlahan ia mulai memejamkan mata sambil bergumam, “Labbaikallah humma labbaik…” Mbah Rukmo tertidur pulas.
Mbah Rukmo tidak mendengar pembicaraan Yuni dan Kirno malam itu.
“Mas, dari mana kita bisa menyumbang Bapak?” suara Yuni.
“Aku juga belum tahu, Yun. Mana mungkin mendapat lima juta dalam waktu singkat. Pendapatanku kan cuma cukup untuk masak harian saja,” suara Kirno.
“Apa bisa pinjam dari temanmu barangkali, Mas?” usul Yuni.
“Halah, teman-temanku ya kayak aku. Sama-sama buruh. Podho kerene,” sahut Kirno mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.
“Ya, jadi gimana ya? Dari mana?” Yuni mulali linglung.
“Padahal kakakmu yang di Surabaya kan orang kaya. Pengusaha,” Kirno berusaha mengingatkan Yuni. “Harusnya dia aja yang nanggung seluruh biaya umroh Bapak.”
“Ah, aku ragu. Mas Wardana kan jahat. Sering membenci Bapak. Dulu saja pernah diutang untuk pernikahan kita malah ngamuk-ngamuk. Katanya kita yang mau kawin kok dia yang harus keluar uang. Huh, mas macam apa dia.” Yuni mendengus.
“Iya, terlalu. Tapi kita juga sih yang salah. Kurang persiapan,” aku Kirno.
“Kita?  Kamu saja barangkali,” protes Yuni. “Kan kamu yang laki-laki.”
“Lah kamu juga salah,” Kirno berusaha berkelit. “Dah tau aku cuma buruh, kenapa mau sama aku?”
Mendengar jawaban suaminya Yuni jadi manyun. Kirno memegang pundak Yuni, berusaha menenangkannya.
“Gini aja Yun Cay, Yuni Cayang. Aku juga mampet. Kita doakan saja ya, Mas Wardana mau nolong Bapak. Niat Bapak kan baik. Allah pasti mengabulkan.” Ucapan dan sentuhan lembut Kirno itu memang sedikit melegakan hati Yuni. Manyunnya hilang,
“Ya sudah, kita tunggu dulu balasan sms dari yang lainnya ya, Mas.”
“He eh.”
^^^^^^
Lit tulat tulit tulat tulit…..sms masuk pertama. Dari Ranti.
“Assalamu alaikum, Pak. Semoga Bapak sehat saja. Ranti menangis baca sms Bapak. Ranti kan nggak kerja Yang punya gajian Mas Komar. Ranti belum berani bilang hari ini. Mungkin nanti malam, Pak.  Nanti Ranti kabari lagi.”
Kirno membacakan.
Lit tulat tulit tulat tulit….sms ke dua. Dari Yandi.
“Assalamu alaikum, Pak. Alhamdulillah Bapak mau umroh. Aku seneng banget dengernya. Mudah-mudahan terlaksana. Aku pasti bantu tapi nggak sekarang, Pak. Tunggu sekitar beberapa bulan lagi. Yang pegang keuangan kan istriku.”
Ketiga orang yang sedang mengerumuni hape itu saling berpandangan.
Lit tulat tulit tulat tulit…sms ke tiga. Pasti dari Mas Wardana. Sebentar ketiganya menghela napas dalam-dalam bersamaan. Seolah yang akan dibacanya ini yang paling penting dari semua. Semoga saja doa Yuni dan Kirno semalam terkabul.
“Kenapa Bapak mau umroh?” Kirno berhenti sejenak membaca sms. Dilihatnya Mbah Rukmo dan Yuni bergantian.
“Lanjutkan,” perintah Mbah Rukmo mengernyitkan alis.
“Yang wajib rukun Islam itu adalah ibadah haji. Itu juga kalau mampu. Kalau tidak ya tidak dipaksakan.” Kirno berhenti lagi.
“Apa Mas? Teruskan,” Yuni mulai geram.
“Umroh itu buat orang-orang yang sudah berangkat haji yang pingin ke Mekkah lagi. Kalau belum haji ya berhaji dulu. Kalau belum mampu ya tidak usah dulu. Nggak perlu umroh dulu.” suara Kirno makin pelan.
“Masih ada lagi, No?” tanya Mbah Rukmo menahan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.
Kirno tak berani meneruskan tapi Mbah Rukmo memaksa.
“… E …Kenapa Bapak e…. salah kaprah…..?” suara Kirno menghilang. Benar-benar sudah tidak bisa bernapas lagi. Ia melihat Yuni sudah mencak-mencak nggak karuan.
“Kurang ajar. Dasar anak tak tahu diri. Sudah kubilang dia tidak akan mau menyumbang. Boro-boro untk umroh, untuk makan harian Bapak aja nggak pernah ngirimin.”
Lit tulat tulit tulat tulit…sms lagi. Dari siapa lagi? Bukannya semua anak sudah?
“Aku di sini banyak kebutuhan. Biaya sekolah anak-anakku. Juga lesnya. Cicilan mobil, rumah. Belum belanja istriku bulanan. Pabrikku cuma satu. Aku juga ada karyawan yang harus kuperhatikan,”
 Lit tulat tul;it tulat tulit….
”Pokoknya aku nggak bisa bantu.”
Hati Mbah Rukmo seperti dipukuli palu berkali-kali.
“Sudah. Sudah’” Mbah Rukmo menutup pertemuan.
Ketiganya beranjak ke tempat tidur masing-masing. Sebelum tidur Mbah Rukmo berbisik. “Bu, Beginilah aku tanpamu.” Mbah Rukmo tertidur sambil menangis seiring gumamannya, “Labbaikalla humma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik ….”
Keesokan paginya Mbah Rukmo sibuk dengan kayu, triplek, paku, martil, gergaji, dan lain-lain.
Tak…tok…tak…tok!
Srek…srek…srek!
Denis ingin tahu, “Buat apa Mbah?”
Mbah Rukmo hanya tersenyum.
“Aku yang maku ya, Mbah?”
“Jangan, Sayang. Nanti kena tangan.”
“Aku pegangin aja deh, Mbah?”
Mbah Rukmo mencium Denis, “Minta mama spidol permanen ya, Cah Ganteng?”
Denis berlari mencari mamanya. Jadilah sebuah kotak berukuram 10x20x30 cm. Di tengah atas nya dibuat lubang memanjang sekitar 4 cm. Salah satu sisinya diberi engsel supaya mudah dibuka tutup.  Dan di depannya diberi gembok.
“Kok kayak celengan, Pak?’ Yuni menyodorka spidol.
Mbah Rukmo tersenyum saja. Diambilnya spidol lalu dituliskan di bagian depan dengan huruf besar.
“KOTAK UMROH”
“Kotak umroh? tanya Yuni.
“He-em. Delapan belas juta dibagi setahun satu juta setengah,” Mbah Rukmo mulai menjelaskan. “Satu juta setengah dibagi empat minggu jadi tiga ratus lima puluh ribu. Lima puluh ribu dibagi tujuh hari lima puluh ribu sehari. Bismillah saja, Ning,” jelas Mbah Rukmo.
Yuni terdiam.
“Nanti kalau punya uang bantu masukkan setiap hari berapa saja ya Ning?” pinta Mbah Rukmo tersenyum. Yuni mangangguk.
“Belum nanti dikasih sama Ranti sama Yandi. Mudah-mudahan nggak sampe setahun udah bisa terkumpul delapan belas juta.” Yuni mengaminkan ucapan ayahnya.
“Taruh di sana, Ning, di dalam buffet dekat Al-Qur’an.”
Yuni mengerjakan apa yang disuruh ayahnya.
^^^^
Setiap malam sebelum tidur, Mbah memegang kotaknya.
“Mana kotaknya, Ning?’ pinta Mbah Rukmo pada Yuni. Segera diraihnya kotak umroh dari tangan anaknya. Didekapnya erat-erat. Lalu mulai bibirnya menggumam.
”Labbaikallohumma labbaik…” Mbah Rukmo tertidur pulas.
Diam-diam Yuni dan Kirno menghubungi Ranti dan Yandi. Disepakatilah mereka bertiga yang akan menanggung biaya umroh Bapak. Kirno meminjam dari Koperasi Pasar enam juta. Mulanya pihak koperasi kurang yakin tapi Yuni dan Kirno menjelaskan untuk apa keperluan uang tersebut. Akhirnya kepala Koperasi Pasar tersentuh dan menyetujuinya. Sedang Ranti ikut arisan minta nomor dekat. Enam juta nanti akan dibayar dari sisa belanja harian yang diberi suaminya. Sementara Yandi meminjam pada istrinya setelah lima kali.
Delapan belas juta sudah terkumpul. Bukan main girang Mbah Rukmo. Mbah Rukmo bisa berangkat umroh.
^^^^^^^
Tanah Haram Mekkah. Mbah Rukmo memasuki gerbang masjidil Haram.
“Ya Allah, Alhamdulillah kau izinkan aku bersimpuh di rumah-Mu.”
Delapan hari Mbah Rukmo memuas-muaskan diri ibadah, zikir dan doa. Suatu hari selesai melaksanakan seluruh untaian ibadah di Tanah Haram itu, suatu pagi sesudah sholat sunnah, Mbah Rukmo duduk di dekat makam Nabi di Raudah. Dia mendoakan semua kebaikan demi dirinya, istrinya, anak dan cucunya Tiba-tiba dilihatnya Wardana di hadapannya sedang ditarik oleh cahaya putih ke atas sambil berteriak memanggil.
“Bapak …. Bapak …. Bapak .…” teriakannya begitu memilukan sampai-sampai dada Mbah Rukmo sesak. Teriakannya semakin terdengar pedih dan perih sekali.
“Ya Allah, ada apa dengan anakku, Wardana. Selamatkanlah ia Ya Allah. Selamatkanlah .…”
Dalam keadaan bingung ia pulang ke maktab dan segera menelepon Yuni.
“Ya Pak. Mas Wardana kecelakaan, Pak. Dia dari tadi memanggil-manggil nama Bapak terus. Doakan, Pak.”
Jleb!!! Mbah Rukmo menangis.
“Ya Allah pertemukan aku dengan anakku. Selamatkanlah ia. Aku tak pernah marah padanya. Beri kesempatan kepadanya menjadi manusia yang lebih alim dan abid kepada-Mu Ya allah.” Esoknya selesai ibadah umroh Mbah Rukmo langsung menuju rumah sakit. Enam jam Wardana melewati masa kritisnya. Dan ia menangis keras-keras dalam pelukan Mbah Rukmo.
Tamat