Minggu, 31 Januari 2016

Antara Dua Hati

ANTARA DUA HATI

(Cerpen ini dimuat dalam buku Antologi Kumpulan Cerpen Senyum Bidadari, 2015, bersama kawan-kawan di LovRinz and Friends)

“Jangan sakiti diri sendiri, Hanum.” Tangannya lembut mengusap bulir yang mengalir dari kedua bola mataku.

“Ini yang sangat kusesalkan. Kita tak pernah tahu takdir Allah atas diri kita bukan?” katanya lagi menatapku dalam-dalam.

“Aku takut, Mas. Aku tak ingin melihat Mas dan keluarga porak karena aku,” kataku meyakinkannya, juga diri sendiri.

“Mengapa harus porak? Belum tentu.”

“Tapi, tadi siang, Mas ….”

“Kita tidak bisa mendahului takdir,” sahutnya cepat menahan gerak bibirku dengan jemarinya.

Ya Allah. Takdir. Apakah kesediaanku menerima pinangan Mas Ikmal dua bulan lalu itu takdir? Dan rela menjadi istri kedua, itu juga Allah yang mengatur? Apakah nantinya anak istrinya pergi meninggalkannya dan membenciku secara abadi itu pun takdir? Apakah aku masih bisa dikatakan memegang ukhuwah Islam? Ah, entahlah.

“Siapa yang mengira kita bisa berjumpa dan berjodoh seperti ini? Bukankah Allah juga yang mengaturnya?” tanyanya. Suaranya halus sekali.

Dadaku bergemuruh. Entahlah. Tadi siang istri pertama Mas Ikmal datang. Ia mengatakan banyak hal. Tentang perhatian Mas Ikmal yang tebagi. Juga masalah keuangan. Dan yang terutama, tentang aku yang dikatakannya sudah memberi sekat antara Mas Ikmal dengan kedua putri mereka.

“Entahlah, Mas. Aku tidak mau menyakiti hati wanita-wanitamu. Kita sudahi saja pernikahan ini.” Dengan susah payah kuucapkan kalimat itu.

Lalu aku berlari keluar. Memandangi langit yang mulai menyapa malam. Tak kuhiraukan Mas Ikmal yang tengah menanti di dalam kamar dengan al-qur'an di tangan.Hatiku masih risau.

Kuingat kembali kejadian tadi siang.

“Haaah, namamu saja yang bagus. Tampak dari luar indah dan anggun. Tapi perilakumu seperti orang tak berpendidikan.” Mbak Rana tiba-tiba datang sambil mengeluarkan kata sekasar itu.

“Masya Allah, Mbak. Mengapa Mbak berkata seperti itu?” tanyaku tidak mengerti. Bukankah selama ini ia sudah tahu pernikahan kami.

“Ah, sudahlah. Kamu pura-pura tidak tahu ya? Pura-pura bodoh. Di mana letak gelar kesarjanaanmu. Mengapa mau menerima pinangan lelaki beristri!” teriak Mbak Rana.

“Mbak, aku … ak-aku …,” ucapanku tersekat.

“Kamu apa? Kamu perebut suami orang, tahu!”

Aku hanya menunduk mendengar semua kata-katanya. Ini memang pernikahan kedua Mas Ikmal denganku yang baru berjalan beberapa bulan, tapi Mbak Rana baru pertama kali marah. Mungkin sebelumnya hanya dipendam. Aku baru menyadarinya. Dan sekarang kupikir aku harus menyudahinya.

Kutengadahkan kepala ke arah langit. Kuperhatikan cahaya bulan. Mengapa malam ini cahayanya bundar? Aku baru tersadar kalau sekarang pertengahan bulan. Dan tanpa kusadari pula, suamiku sudah berada di sisi.

“Melihat apa?” tanyanya dengan senyum khasnya.

Ya Allah, kuatkanlah hatiku. Kutepis uluran tangannya yang hendak meraih pinggangku.

Ia mengambil kursi dan meletakkannya tepat di hadapanku.

“Mari, sini!”

Sejenak aku ragu. Namun akhirnya kuturuti juga perintahnya.

“Kamu lihat cahaya bulan itu?” tanyanya. Dengan malas aku mengangguk.

“Apa menurutmu bulan memancarkan sendiri cahayanya?” selidiknya ke arah mataku yang sedari tadi kutundukkan.

Aku jadi jengah dengan tatapannya. Aku tak terbiasa bersitatap langsung dengannya. Maka kupalingkan wajah ke arah tanaman tekiku yang mulai meninggi.

“Dengar, Sayang. Seluruh alam ciptaan Allah bertasbih dan tunduk pada perintah-Nya. Begitu pula manusia, hewan, bintang, bulan, dan juga matahari,” katanya.

“Kamu tahu tidak kalau matahari saat malam pun bersinar?”

Pertanyaannya kali ini membuatku mendongak. Mana ada cahaya matahari malam-malam? Yang ada juga bulan. Itu, seperti di atas, yang kini tengah bundar dan menerangi semua yang berada di bawahnya, termasuk kami.

Aku menggeleng keras-keras. Ia menjawil ujung hidungku. Dan aku harus pura-pura marah karenanya.

“Kamu gimana sih? Lupa dengan pelajaran ilmu alam? Bulan kan nggak bercahaya sendiri. Ia hanya memantulkan sinar matahari. Sesungguhnya matahari tidak tenggelam saat malam. Ia tetap bersinar. Hanya saja sinarnya dititip lewat pantulan rembulan. Agar pada saat bekerja di bagian bumi yang lain, ia tetap bisa menerangi bagian bumi yang tengah ditinggalkannya.”

Ah, bodohnya aku ini. Tentu saja yang dikatakannya tentang pantulan sinar bulan itu benar. Mengapa aku lupa dengan pelajaran sekolah dasar ini. Mungkin terlalu hanyut dengan perasaanku seharian ini.

Tapi diam-diam otakku menelaah. Apa maksud Mas Ikmal dengan ucapannya? Apakah ia menganalogikan dirinya dengan matahari?

“Jadi …, Mas …?” tanyaku ragu-ragu.

Ia mengangguk

“Ya,” jawabnya tenang dan tegas.

"Akulah matahari. Akulah imam untuk kalian berdua. Izinkan aku bergulir pada siang dan malam. Selama berada di jalan Allah, kalian harus mentaatiku."

Kupandangi wajahnya yang terus tersenyum.

"Sebelum ke mari, aku sudah menyelesaikan permasalahan dengan Rana. Ia hanya agak kesal karena sedari pagi aku acuhkan. Padahal itu sengaja. Karena semalam ia tak menyelesaikan hafalan qur'annya," terang Mas Ikmal.

"Konsekwensi yang sama buatmu jika melanggar kepemimpinanku.” Aku menunduk mendengar penuturannya.

Mas Ikmal mengeluarkan handphonenya.

“Assalamu alaikum, Ummi. Anak-anak sudah sholat Isya semua dengan Ummi?” tanyanya memulai percakapan dengan Mbak Rana.

Dan aku tak mendengar percakapan selanjutnya, sebab kini aku memasuki kamar. Bersiap mengaji beberapa surah bersama sebelum tidur serta mendengarkan ta'lim harian dari suamiku.

The End. Cilincing, 15 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar