CINTA TAK PERNAH USAI
Pukul 07.00 pagi.
Aku mengutuk diri sendiri atas keterlambatan ini. Apa
kata bosku nanti di tempat kerja. Dia pasti menyambutku dengan kacak pinggang.
Dan pekerjaan akuntansi pasti telah menumpuk di atas meja. Huh.Semua gara-gara
papa. Papa memintaku untuk menerima pinangan anak temannya. Ah, entahlah.
Setelah berlari-lari, akhirnya dapat juga kuhenyakkan
badan dalam bus. Satu-satunya tempat duduk yang tersisa. Alhamdulillah,
syukurku dalam hati. Semoga saja bus ini cepat sampai di depan kantorku.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada pria di sampingku. Dia … dia … mantanku …!
***
“Hai, Tania!” sapanya.
Tak sadar aku menganga. Di pangkuannya ada seorang bocah
laki-laki.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyanya sambil membetulkan
letak duduknya.
“Ba-ba … baik-baik saja,” jawabku menyembunyikan
perasaan.
“Emm, maksudku, bagaimana kabarmu dan suami?”
Aku tersenyum kecut. Terbayang wajah papa dan anak
kenalannya.
“Aku masih sendiri,” sahutku. “Siapa ini?” tanyaku.
“Anakku,” sahutnya.
Aku diam. Entah apa yang sedang kupikirkan. Antara
bahagia berjumpa lagi dengannya. Dan juga perasaan cemburu melihatnya begitu
sayang pada buah hatinya.
“Berapa usianya sekarang?” tanyaku memperhatikan tingkah
bocah laki-laki yang cukup menggemaskan itu.
“Tiga tahun.”
“Ayah, lihat, ada perosotan!” tunjuk anak itu ke luar
jendela.
Ia menengok ke arah yang ditunjuk.
“Nanti kita ke sana ya, Nak. Kita ke rumah teman ayah
dulu,” jawabnya menenangkan sang anak.
Dulu kami berpisah karena tak disetujui orang tua. Ia
terpaksa menikah dengan seorang wanita yang masih kerabatnya sendiri. Sebab
katanya orangtua mereka masing-masing telah menjodohkan sejak kecil.
Dan aku harus rela melepaskannya. Lima tahun terpisah
dengannya, aku tak pernah lagi bertukar berita. Kukira ia telah berbahagia
dalam biduk rumah tangganya. Sedangkan aku berusaha membuka hati, namun hingga
kini usiaku beranjak dua puluh enam tahun. Hati ini masih belum bisa menerima
kenyataan ditinggal menikah olehnya. Hari-hari kulalui penuh sepi. Beberapa
pria yang mendekat, tak satu jua yang berkenan di hati. Dia pria yang sangat
spesial bagiku.
“Ayah, katanya kita mau ke monas?”
“Iya, Nak. Ini kita akan menuju ke monas,” sahut ayahnya.
“Ayah jangan bohong lagi. Jangan seperti kemarin, cuma
pulang pergi di bus saja,”
“Eh-oh nggak, Nak, kita akan ke monas kok, tapi ….”
“Ah, ayah mana teman ayah? Katanya ayah mau mengajak ke
monas bersama teman ayah.”
“Nanti, nak, ayah belum ketemu.”
“Kita jemput saja, di mana rumahnya ayah?”
“Eh, di … di dekat sini, nanti kalau ayah sudah ketemu
dan dia mau diajak ke monas, kita ke monas ya?”
Anak itu kelihatan tidak puas. Tapi terdiam lagi.
Temannya? Siapa?
“Mamanya nggak ikut?” selidikku.
Kulihat ia termenung. Lalu menghela napas dalam-dalam.
“Tania. Mamanya sudah lama tiada ….”
Aku tercekat.
“Ma-maaf. Maksudnya?”
Ia bercerita bahwa istrinya meninggal sesaat sesudah
melahirkan putra pertama mereka. Ya, putra yang saat ini tengah duduk di
pangkuannya itu. Selama tiga tahun pula ia jalani hidup sendirian. Beruntung
ada kedua orangtua dan mertua yang membantu mengurusi anaknya saat ia pergi
bekerja.
“Tania, niatku ke Jakarta sesungguhnya adalah --” Dia tak
meneruskan kalimatnya. Membuatku penasaran dan agak sedikit mencondongkan
telinga ke dekat mulutnya.
“Ya, Andi?”
"-- menemuimu. Aku ingin memintamu menemani ke
Monas. Sudah seminggu ini kami naik bus yang melewati kantormu.”
"Apa? Kenapa tidak mampir saja ke rumahku? Atau
datang ke kantor?”
“Aku … aku takut kau menolakku.”
Andi menunduk. “Dengan keadaanku yang seperti ini. Aku
hawatir kamu tak mau lagi menemuiku.”
“Jadi seminggu ini kamu berusaha menemuiku?”
“Ya, Tania. Maukah kamu menamani ….”
“Apa? Ke Monas?”
“Maukah kamu menyambung kembali kisah kita yang pernah
terhenti? Meski sekarang sudah ada Gibran di sisiku? Aku tak akan memaksamu.
Aku tahu kau …”
Aku menutup bibirnya dengan sapu tanganku. Kupegangi
tangannya, lalu kucium penuh hidmat, seraya tersenyum.
“Aku rela, Andi, asal kau percaya padaku.”
“Terima kasih, Tania.”
Dia menggenggam tanganku erat.
Dan bus terus melaju melewati kantor tempatku bekerja.
Biarlah hari ini aku membolos. Akan kuajak Andi dan Gibran keliling Jakarta.
Dan melihat monas seperti keinginannya.
Tamat
CILINCING, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar