Rabu, 15 Juni 2016

CINTA TAK PERNAH USAI

Pukul 07.00 pagi.

Aku mengutuk diri sendiri atas keterlambatan ini. Apa kata bosku nanti di tempat kerja. Dia pasti menyambutku dengan kacak pinggang. Dan pekerjaan akuntansi pasti telah menumpuk di atas meja. Huh.Semua gara-gara papa. Papa memintaku untuk menerima pinangan anak temannya. Ah, entahlah.
Setelah berlari-lari, akhirnya dapat juga kuhenyakkan badan dalam bus. Satu-satunya tempat duduk yang tersisa. Alhamdulillah, syukurku dalam hati. Semoga saja bus ini cepat sampai di depan kantorku.

Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada pria di sampingku. Dia … dia … mantanku …!

*** 

“Hai, Tania!” sapanya.
Tak sadar aku menganga. Di pangkuannya ada seorang bocah laki-laki.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyanya sambil membetulkan letak duduknya.
“Ba-ba … baik-baik saja,” jawabku menyembunyikan perasaan.
“Emm, maksudku, bagaimana kabarmu dan suami?”
Aku tersenyum kecut. Terbayang wajah papa dan anak kenalannya.
“Aku masih sendiri,” sahutku. “Siapa ini?” tanyaku.
“Anakku,” sahutnya.
Aku diam. Entah apa yang sedang kupikirkan. Antara bahagia berjumpa lagi dengannya. Dan juga perasaan cemburu melihatnya begitu sayang pada buah hatinya.
“Berapa usianya sekarang?” tanyaku memperhatikan tingkah bocah laki-laki yang cukup menggemaskan itu.
“Tiga tahun.”
“Ayah, lihat, ada perosotan!” tunjuk anak itu ke luar jendela.
Ia menengok ke arah yang ditunjuk.
“Nanti kita ke sana ya, Nak. Kita ke rumah teman ayah dulu,” jawabnya menenangkan sang anak.
Dulu kami berpisah karena tak disetujui orang tua. Ia terpaksa menikah dengan seorang wanita yang masih kerabatnya sendiri. Sebab katanya orangtua mereka masing-masing telah menjodohkan sejak kecil.
Dan aku harus rela melepaskannya. Lima tahun terpisah dengannya, aku tak pernah lagi bertukar berita. Kukira ia telah berbahagia dalam biduk rumah tangganya. Sedangkan aku berusaha membuka hati, namun hingga kini usiaku beranjak dua puluh enam tahun. Hati ini masih belum bisa menerima kenyataan ditinggal menikah olehnya. Hari-hari kulalui penuh sepi. Beberapa pria yang mendekat, tak satu jua yang berkenan di hati. Dia pria yang sangat spesial bagiku.
“Ayah, katanya kita mau ke monas?”
“Iya, Nak. Ini kita akan menuju ke monas,” sahut ayahnya.
“Ayah jangan bohong lagi. Jangan seperti kemarin, cuma pulang pergi di bus saja,”
“Eh-oh nggak, Nak, kita akan ke monas kok, tapi ….”
“Ah, ayah mana teman ayah? Katanya ayah mau mengajak ke monas bersama teman ayah.”
“Nanti, nak, ayah belum ketemu.”
“Kita jemput saja, di mana rumahnya ayah?”
“Eh, di … di dekat sini, nanti kalau ayah sudah ketemu dan dia mau diajak ke monas, kita ke monas ya?”
Anak itu kelihatan tidak puas. Tapi terdiam lagi.
Temannya? Siapa?
“Mamanya nggak ikut?” selidikku.
Kulihat ia termenung. Lalu menghela napas dalam-dalam.
“Tania. Mamanya sudah lama tiada ….”
Aku tercekat.
“Ma-maaf. Maksudnya?”
Ia bercerita bahwa istrinya meninggal sesaat sesudah melahirkan putra pertama mereka. Ya, putra yang saat ini tengah duduk di pangkuannya itu. Selama tiga tahun pula ia jalani hidup sendirian. Beruntung ada kedua orangtua dan mertua yang membantu mengurusi anaknya saat ia pergi bekerja.
“Tania, niatku ke Jakarta sesungguhnya adalah --” Dia tak meneruskan kalimatnya. Membuatku penasaran dan agak sedikit mencondongkan telinga ke dekat mulutnya.
“Ya, Andi?”
"-- menemuimu. Aku ingin memintamu menemani ke Monas. Sudah seminggu ini kami naik bus yang melewati kantormu.”
"Apa? Kenapa tidak mampir saja ke rumahku? Atau datang ke kantor?”
“Aku … aku takut kau menolakku.”
Andi menunduk. “Dengan keadaanku yang seperti ini. Aku hawatir kamu tak mau lagi menemuiku.”
“Jadi seminggu ini kamu berusaha menemuiku?”
“Ya, Tania. Maukah kamu menamani ….”
“Apa? Ke Monas?”
“Maukah kamu menyambung kembali kisah kita yang pernah terhenti? Meski sekarang sudah ada Gibran di sisiku? Aku tak akan memaksamu. Aku tahu kau …”
Aku menutup bibirnya dengan sapu tanganku. Kupegangi tangannya, lalu kucium penuh hidmat, seraya tersenyum.
“Aku rela, Andi, asal kau percaya padaku.”
“Terima kasih, Tania.”
Dia menggenggam tanganku erat.
Dan bus terus melaju melewati kantor tempatku bekerja. Biarlah hari ini aku membolos. Akan kuajak Andi dan Gibran keliling Jakarta. Dan melihat monas seperti keinginannya.
Tamat

CILINCING, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar