Rabu, 15 Juni 2016

SANTET

Ada sesuatu di dalam perutku. Seperti suara-suara alunan musik yang ingin didengar. Kadang seperti suara orang berlari-lari di atas pasir pantai yang sebagiannya terseret air laut. Kadang seperti suara kulit tertimpa duri. Bahkan kurasa seperti anjing mengonggong-gonggong menggema sampai ke ulu hati.
Sudah berpuluh dokter kupaksa memeriksa.


“Tolong, dokter. Ada apa dalam perut saya?”

Tapi semua menggeleng. Scan machine dan X-Ray tak dapat menemutunjukkan ada apa sesungguhnya di sana.

“Krieeet ... krieeet ….”

Sial. Ada apa sesungguhnya di sana? Perutku seperti dipilin, diperas, hingga keringat dingin memenuhi wajah dan tengkukku.

Buk. Buk. Buk. Kupukuli perutku.

“Hei, kamu. Sesuatu di dalam sana. Keluar!!!” teriakku jengkel.

Namun suara-suara itu terus berlari seakan mencemooh aku yang menangis menahan perih. Obat-obatan dari tabib China di ujung jalan bahkan menambah parah suara-suara di dalam perut itu. Mereka menggila.
Mereka terus menari. Seakan tak peduli.

Kubacakan mantra-mantra pengusir. Kupikir barangkali saja suara-suara dalam perutku takut. Tapi kudengar tawa mereka semakin keras. Mereka terbahak, mencemooh, memaki-maki.

“Anjing. Setan. Kupret!!! Sialan.” Balasku menendang batu-batu yang merintang di hadapanku. Persetan dengan mereka.

Arggghhh, mengapa semua orang tak mau peduli. Hanya ada satu, yang kalau boleh kubilang dia ‘teman’, yang mau mendengarkan semua keluhanku. ‘Dia’ biasanya diam mendengarkan umpatanku. Atau kadang ikut menangis bersama air mataku yang berloncatan oleh kejengkelan.

‘Dia’ selalu mengerti aku. Tak pernah mencemooh atau mencibir. ‘Dia’ adalah sebatang pohon yang tumbuh besar di belakang pekarangan rumah. Setiap malam aku menangis di bawah daun-daunnya yang rindang.

“Sakit …, sakit sekali …’” rengekku. Atau bahkan aku menangis sambil memegangi perutku yang seolah diperas dari dalam.

‘Dia’ mengerti. Dia membisiki aku sesuatu.

“Cari Izrail!”

Tamat

Cilincing, 11 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar