Jumat, 16 Desember 2016

Pengalaman

Pengalaman Pertama dan Terakhir

Hima lagi ngepasin seragam abu-abu di badannya yang kurus tinggi langsing mirip artis Syahrempong. Subhanallah! Cantik dan menarik. Nggak tahu ya menarik becak apa bajaj. 

Yang jelas, matanya yang bulat kayak bubur kacang ijo belom dimasak itu menangkap bayangan wajah manisnya sendiri di cermin. Dia pun lalu tersenyum genit, kayak emak-emak yang baru dapet duit gajian dari suami.

Ada cinta terlarang antara aku dan Adit. Tiba-tiba batin Hima sedih lalu ia pun memalingkan wajah ke arah kulkas. Laper. Halah. Dia lupa tadi sudah sarapan nasi goreng.

"Jangan berteman dengan anak model gitu. Mama nggak suka." Kata Mama. Mama belum tau aja, kalau dia lagi metik gitar. Tangannya itu kayak lima jari pisang yang sudah matang dan siap dikolak, manis ....
 

“Hima! Cepat, nanti sekolahmu terlambat." teriak ayah.

"Omegat! Iya, Ayah." Cewek kelas sepuluh itu keluar dan langsung cium tangan pamit.
***
Jam istirahat adalah waktu paling istimewa bagi Hima. Cuma di jam istirahat dia sama Adit bebas ketemuan. Di jam istirahat ini juga sebulan lalu dia sama Adit jadian.


"Yang, entar sore, Gilang sama Santi mau ngajak kita," ujar Adit yang duduk di seberang Hima.

"Mau ke mana?"

Adit celingukan melihat sekitar sebelum membisikkan sesuatu.

"Hah? Sama siapa aja?" balas Hima.

"Tenang aja, kan ada aku."

"Oh, oke lah. Ntar kubilang sama Mama ada teman yang ulang tahun."
***
Suasana Monaliza sangat bising. Beberapa orang sudah menggoyang badan di lantai. DJ memainkan lagu-lagu yang benar-benar sangat menghipnotis membuat para pengunjung sulit untuk menolak bergerak.


"Eh, kalian udah sering ke sini ya?" Hima agak canggung tapi dia coba untuk beradaptasi.

"Iya. Soalnya hiburan itu penting. Biar nggak stress." Gilang mengaduk minumannya.

"RSJ udah penuh, tauk. Masa kita mau nambah." Santi cekikikan.

"Yuk," ajak Adit.

Hima menelan seteguk minumnya sebelum bangkit mengikuti langkah mereka.
Semua mulai larut dalam suasana temaram yang meriah. Debum musik dari lagu-lagu yang diputar merasuk masuk menjalar dalam darah.

"Huaaah!" Hima menghenyakkan pantat kembali ke meja mereka. Dia tersenyum puas.

"Eh, bentar." Adit mengeluarkan sesuatu. Sebungkus pil merah jambu dalam plastik kecil.

"Ambil, yuk." Tanpa ragu Santi mengambil sebutir. Dan menenggaknya. Begitu juga Gilang dan Adit.

"A-pa ini? Extacsy?" Hima mengerutkan kening.

"Bukan. Udah, minum aja. Bukan narkoba, kok. Cuma vitamin. Ini nggak membuat ketagihan, cuma bikin kita santai aja."

Hima ragu, namun bujukan kekasih dan teman-temannya membuat ia mulai berubah pikiran.

"Bener nih nggak apa-apa?" tanyanya sekali lagi.

"Nggak papa. Malah nambah kerja fungsi otak. Kita bisa lebih konsentrasi di sekolah."

"Oh. Baiklah." Hima mulai mengambil gelasnya dan hampir saja meletakkan pil tersebut di lidah.
Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari arah pintu masuk.

"Diharap kerjasamanya. Semua berdiri, dilarang memegang apa pun!" Bentakan itu terdengar sangat kencang. Hima bengong, karena beberapa orang berbadan besar tengah mengacungkan pistol.

"Ad-ada apa?" Santi merebut pil di tangan Hima dan melemparnya ke belakang. Namun dari hasil test urine dinyatakan mereka positif, kecuali Hima tentu. Mereka ditangkap.

Seluruh pengunjung selesai diperiksa setelah hampir sekitar dua jam.

"Terima kasih atas kerjasama semuanya. Silakan melanjutkan kembali."

Semua orang terlihat lesu. Tak ada lagi musik. Tak ada lagu. Yang ada hanyalah orang-orang yang tak dikenal Hima dengan pakaian minim, ramai-ramai membicarakan kejadian barusan.

Lututnya gemetaran mencoba berdiri, dengan gontai ia menuju pintu keluar. Dan pandangan tiba-tiba berkunang-kunang tepat di depan bar. Ia terjatuh duduk.

"Hey, kamu nggak papa?" Seseorang berseragam bartender berlari menghampiri. Hima tak sanggup menjawab. Kepalanya berputar-putar.

Melihat Hima tidak bereaksi, pria itu membuka tasnya. Membaca alamat di KTP dalam dompet. Lalu ia meninggalkan Hima sebentar untuk mengganti baju kerja.

Ayah dan Mama kaget bukan main mendengar penjelasan singkat si pengantar putri mereka.
***
Paginya Ayah dan Mama berpanjang kali lebar kali luas menasehati.


"Bisa-bisanya kamu ke diskotek. Bilangnya mau ke ulang tahun teman. Mama sudah percayain kamu, kamu nggak bisa jaga kepercayaan Mama."

Hima tertunduk masam. Mukanya ditekuk dua belas. Selusin pas.

Ia dihukum tak boleh ke mana-mana. Dan mulai besok Ayah akan selalu menjemputnya setiap jam pulang sekolah.

Hima masuk ke kamar dan memeriksa tasnya semalam. Untung saja teman-teman nggak ada yang memasukkan benda itu ke dalamnya.

Tiba-tiba matanya tertumpu pada sebuah benda semacam ID-card yang terselip di dompet.
"Zahwan Baihaqy." Hima membaca nama yang tertera. Itu foto si penolongnya tadi malam.
Diperiksanya kembali kartu itu barangkali ada nomor yang bisa dihubungi. Ada!

"Hallo, terima kasih sudah menolongku semalam. Kartu kerja kamu ada di dalam dompetku. Bagaimana bisa? Dari orang yang kamu tolong di Monaliza tadi malam."

Tidak ada balasan sampai Hima mengulang sms itu tiga kali. Hima menarik nafas panjang. Ya sudah, kalau nggak mau balas. Sombong bener, apa kehabisan pulsa?

Diteleponnya nomor itu sampai beberapa kali. Tetap tak ada jawaban.
Ya, sudah lah. Hima kecewa. Ia ingin mengucapkan terima kasih pada lelaki itu.
Jam makan siang, Hima dan seluruh keluarganya berkumpul di meja makan. Ketukan pintu dari luar membuat Hima menghampiri. Seorang pria muncul dengan senyumnya yang ramah. Pria itu yang telah menolongnya tadi malam.

Hima tertegun. Cowok ini ganteng juga. Semalam dia tak sempat memperhatikan. O, iya, mana ada bartender yang nggak ganteng. Hihihi.

Hima mempersilakannya duduk di teras rumah. Tak lama ia pun keluar sambil membawa minuman lalu menyerahkan kartu berwarna hijau itu.

"Nih."

"Terima kasih ya. Kalau nggak ada ini bisa diomelin boss aku. Mungkin semalam salah kumasukkan dalam dompetmu. Aku kan perlu melihat alamat di KTP-mu."

"Oh, gitu. Pantas. Minum dulu, deh."

Lelaki itu menurut.

"Makasih ya, atas bantuannya semalam. Kubeneran loh makasih banget."

"Iya, nggak papa, sama-sama. Kamu masih sekolah kan? Semalam kamu pucat betul. Minuman di sana nggak baik buat anak yang masih sekolah."

"Lah, kan sendirinya yang ngelayanin? Padahal dari namanya kayaknya nggak cocok deh kalau kerja di sana."

Zahwan tertawa.

"O iya. Kenapa pesanku tidak dijawab? "

“O, itu. Tadi pagi aku masih tidur."

"Setidaknya beritahu dulu kalau mau datang, biar aku nggak kaget." Hima tertawa.

"Kalau membalas kan boros dong, Toh aku harus ke sini juga. Nggak mungkin minta kamu anterin ke 
rumahku kan? Jadi sayang pulsanya."

"Yee ..., pelit bin medit. Masak nelepon sebentar aja sayang pulsa. Sayang juga kalau cuma sms?"

Pemuda itu tertawa. "Ya, bukan pelit, sih, mungkin aku tak biasa saja. Aku harus menghemat demi menyelesaikan kuliah."

"Kuliah? Di mana?"

"Di Gunadarma. Ambil diploma. Aku harus membiayai sendiri kuliahku sekaligus biaya sekolah dua adikku."

"Oh, punya adik?"

"Ya, dua, perempuan. Makanya melihat kamu di sana aku seperti melihat adikku sendiri."

Hima memandangi pria di hadapannya. Ia menyimak setiap kata yang diucapkan."Kalau begitu boleh kupanggil Kakak, ya? Sudah berapa lama di sana, Kak?"

"Hehe, iya boleh. Empat tahun. Tapi tempat seperti itu sangat tidak baik. Aku akan berhenti setelah menamatkan kuliah. Ada beberapa perusahaan yang sudah kukirimi lamaran. Semoga mereka mau menerima setelah kudapatkan ijazah empat bulan ke depan."

Hima merasa kagum dengan Zahwan. Tak seperti dirinya yang selalu merepotkan orang tua.

"Jangan dikira aku senang bekerja di sana. Itu kupakai sebagai batu loncatan saja. Kita harus pandai membawa diri. Bagaikan mata air yang mengalir di sungai."

"Mata air yang mengalir di sungai? Maksudnya gimana, Kak?"

"Apa jadinya jika air itu berkeras hati? Menanti sang batu disingkirkan orang, atau hingga ia mengecil menjadi kerikil? Kapan ia sampai ke muara?

"Air tidak begitu, Dek. Dia mau membelah dirinya untuk kemudian bersatu kembali sesudah berada di tempat yang memungkinkan. Sehingga mata air tak akan tersumbat, dan dapat terus mengalir ke tempat yang ditujunya, yaitu lautan."

Hima manggut-manggut. "Akan aku ingat kata-kata Kakak."

"Oh, ya. Namamu juga bagus. Himamah Sofiyah."

"Loh, tahu dari mana?"

"Semalam kan aku melihat KTP-mu."

"Oh, iya yah. Ketahuan, deh." Hima tertawa. "Jarang loh yang bisa hafal nama panjangku."

"Bagiku namamu itu mudah diingat. Karena dulu aku lulusan Madrasah Aliyah. Tahu lah sedikit bahasa Arab. Himamah Sofiyah artinya merpati yang suci. Seharusnya kamu bisa menjaga diri sesuai namamu, seperti merpati yang selalu putih, tak bernoda. Cantik, lembut, baik, menyenangkan hati orang yang memandangnya. Jangan malah pergi-pergi ke tempat yang bukan semestinya."

Hima diam mendengar penjelasan pemuda itu. Ia ingat kejadian semalam. Mengapa ia mau diajak Adit ke sana lalu hampir saja minum obat itu? Yah, Mama memang benar. Adit bukan pacar yang baik. Untung saja ia masih dilindungi, tak jadi menenggak pil itu. Apa yang terjadi kalau ia sampai melakukannya? Ternyata itu benar-benar pil haram. Huh, malam minggu yang buruk. Hima menunduk.

"Aku janji nggak akan ke tempat itu lagi. Aku juga udah nggak mau terlalu dekat dengan mereka lagi, bener. Aku kapok. Mereka hampir menjerumuskanku."

"Benar." Pria itu tersenyum menggoda dan Hima menyadari senyum Zahwan sangat menawan.

"Jangan pernah ke sana lagi ya?" pintanya.

"Tidak. Tidak akan." Hima menggeleng kuat-kuat.

"Betul?"

Pertanyaan pria itu dijawab Hima dengan mantap.

"Betul. Aku janji akan lebih sungguh-sungguh belajar dan meraih cita-cita. Aku juga harus bisa menyenangkan hati Ayah dan Mama." Ucap Hima pelan.

"Nah, bagus itu. Baiklah. Tapi, kalau boleh aku akan sering ke sini untuk memastikan hal itu." Zahwan tak sadar mengucapkan kalimat itu. Wajah manis Hima agaknya membuat dia betah berlama-lama.

"Wah, Kakak modus nih." Hima meledek.

"Ah, ya sudah jika tak boleh."

Hima buru-buru menyahut, "Boleh kok, Kak. Aku kan merpati yang sangat membutuhkan mata air."
Zahwan tersenyum. Dan dibalas manis sekali oleh Hima. Keduanya saling berpandangan penuh arti.

Mereka tak tahu, di belakang pintu kedua ortu Hima mengintip dan tersenyum.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar