ALAT PERAGA DARI KARTON, MEDIA SEDERHANA NAMUN MENGENA
OLEH ; NUR JANNAH, S.Pd / SDN KALIBARU 03
PESERTA WIT 2020 ASAL DKI JAKARTA
Tahun ini saya mengajar di kelas 4 SD. Saya senang sekali karena akan ada Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) diberikan di kelas 4. Saya berharap sekali dapat bersama-sama murid untuk melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan. Saya akan meningkatkan literasi murid saya dari segi bahasa maupun numerasi. Saya membayangkan murid saya semakin maju, literasinya meningkat serta dapat belajar dengan penuh kesan.
Namun pada kenyataannya saya seolah terempas dari langit ke tujuh dan kangsung nyungseb ke bumi. Semua bayangan indah sirna. Ketika memasuki materi matematika KPK dan FPB saja, murid banyak yang bingung dan tak mampu mengikuti pelajaran. Saya pun bertanya mengapa. Ternyata mereka belum memahami konsep dasar pembagian. Pembelajaran non tatap muka menjadi kambing hitamnya. Murid saya kurang bersemangat di tahun lalu karena masih terkejut dengan adanya kondisi pandemic Covid 19.
Saya pun mencoba mencari jalan. Bagaimana cara mengajarkan murid saya untuk bisa memahami pelajaran meskipun dilaksanakan dengan moda pembelajaran jarak jauh? Maka saya mulai mencoba melakukan beberapa hal;
Saya mencoba mengenali murid saya dengan membuat peta empati.
Saya membuat isian google form agar mereka lebih bebas mengungkapkan apa yang biasa mereka dengar, lihat, maui, dan inginkan. Serta apa yang biasanya menjadi kendala mereka dalam belajar, apa ketakutan mereka dan apa yang mereka khawatirkan.
Dari situ saya merangkum ada 5 masalah besar yang harus segera dicarikan jalan keluar
Dari 5 hal itu saya pilih lagi menjadi 3 yang paling urgen
Dari 3 itu saya peras lagi sehingga saya dapatkan 1 masalah terbesar dan termendesak untuk segera dicari jalan keluarnya.
Ternyata mereka takut tidak bisa mengikuti pelajaran matematika di kelas oleh sebab pembelajaran non tatap muka ini. Mereka juga ingin media pembelajaran yang tidak melulu hanya video, karena dengan video itu sulit dimengerti dan juga susah sinyal serta memerlukan kuota yang banyak. Padahal orang tua sedang tak memiliki uang. Mereka juga takut kalau pelajaran matematika di kelas 5 dan 6 nantinya pasti akan jauh lebih sulit daripada di kelas 4.
Akhirnya saya membuat media yang membantu mereka untuk lebih memahami konsep dasar matematika. Kemudian saya membuat alat peraga yang terbuat dari stick dan cup es krim. Lalu saya cobakan. Namun sebelumnya saya cobakan dulu pada rekan guru dan anak-anak tetangga yang bukan kelas 4.
Sebagian mengatakan, “Ah, seperti anak kecil!”
Ada juga yang bilang, “Nggak mau, nggak suka!”
Rekan guru ada yang berseru, “Loh, sekarang kan jamannya digital, buat dong alat peraga yang modern!”
Saya pun menjadi bimbang. Lalu saya bertanya pada rekan lainnya. Teman saya bilang jangan pedulikan ucapan orang lain. Media itu dibuat berdasarkan kebutuhan siswa. Bukan dilihat dari mewah atau canggihnya.
Saya pun tersadar. Saya tak lagi mempedulikan cemoohan orang. Alat peraga tetap saya lanjutkan. Lalu saya ubah menjadi papan dadu berpasangan. Di sini saya menambahkan dadu agar nampak lebih menarik, dan juga papan yang terbuat dari kertas karton berwarna cerah.
Dan ketika saya cobakan pada siswa, hanya 15an siswa dari 33 siswa yang mampu memahami pembagian dengan alat peraga buatan saya.
“Bingung bu saya dengan dadunya,” kata salah seorang murid.
“Bosan ah, Bu. Malas.”
Saya bingung. Haruskah saya buat lagi lebih sederhana?
Tadinya mau saya acuhkan saja siswa yang tidak berhasil ini. Namun saya diingatkan bahwa penciptaan media alat peraga sesungguhnya harus mampu menjangkau seluruh siswa. Artinya harus dapat digunakan oleh siapapun tanpa kecuali.
Maka saya mulai berpikir, “Harus diapakan lagi media ini?”
Lalu saya baru menyadari bahwa saya belum menyebarkan angket kepada para murid. Malam itu juga saya cetak angket dan saya fotokopi secukupnya. Esoknya saya bawa-bawa kembali alat peraga saya. Mendatangi murid-murid saya kelas 4, mendatangi rumahnya satu per satu. Ada juga yang berkumpul secara berkelompok kecil. Saya ujicobakan kembali alat peraga saya. Dan kali ini tak lupa meminta murid mengisi angket.
Nah, dari situlah saya dapat membaca, bagaimana dan apa yang dirasakan serta diinginkan oleh murid saya yang tertinggal itu. Alat peraga papan dadu pembagian saya finalkan. Yang tadinya harus dilakukan berpasangan, menjadi papan dadu pembagian biasa. Yang sangat sederhana.
Saya mendapat pengalaman yang sangat berharga, bahwa tidak masalah sesederhana apa alat peraga kita. Asalkan mampu mencapai tujuan pembelajaran, maka berarti media tersebut telah berhasil. Jangan terpengaruh ucapan orang lain yang meremehkan. Karena yang harus kita amati dan kita catat adalah pendapat murid kita sendiri sebagai sasaran, bukan orang lain.
Dan bahwa dalam pembuatan media belajar yang merdeka haruslah sesuai urut-urutan prosesnya. Jangan abai atau melupakan satu saja langkah yang telah diajarkan dalam pembuatan proses media belajar yang merdeka itu. Semisal menyebarkan angket yang sempat saya lupa itu saking repotnya. Karena akibatnya akan fatal, dan kita tidak menemukan arah tujuan.
Jadi, meskipun media saya hanya terbuat dari karton, stick dan cup es krim, namun siswa saya mampu memahami konsep dasar pembagian dengan baik. Dan sudah lancer serta tidak kebingungan lagi mengikuti pembelajaran matematika KPK dan FPB.
Jakarta, 20 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar