Sabtu, 20 Februari 2016

MBAH RUKMO PINGIN UMROH
Mbah Rukmo sudah tua. Usianya mulai mengujung. Bahkan belakangan dia sering memimpikan istrinya. Mbah Rukmo kesepian semenjak istrinya wafat dua tahun yang lalu. Untungnya anak ke empatnya, Yuni, tinggal bareng dengan Mbah Rukmo setelah menikah dengan Kirno. Sedangkan tiga anak yang lain beserta mantu cucunya jarang berkunjung.
Wardana, anak pertama, di Surabaya. Dia sudah jadi pengusaha minyak sayur yang cukup sukses di sana. Miranti, anak ke dua, dibawa suami. Dia jarang datang, biasanya karena dilarang oleh suaminya itu. Yandi, anak ke tiga, tinggal bareng mertua karena istrinya anak tunggal.
“Ada apa, Bu? Kok sering datang? Apa mau menjemputku?” Lamunan Mbah Rukmo.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan mainan.
“Treet…tree…treeet….Dor!” teriak Denis, anak Yuni.
“Aaaa…..,” Mbah Rukmo terkulai lemas mati. Pura-pura.
“Ha…ha…ha…aku menang…aku menang…,” seru Denis kegirangan.
Tiba-tiba Mbah Rukmo bangun. Dengan serta merta pria tua itu memeluk Denis. Diciumi cucunya satu itu.
“Aduh, Cah Bagus, ngageti Mbah,” Mbah Rukmo tertawa terkekeh-kekeh. Teringat cucunya yang lain. Gimana cucu-cucuku yang di sana ya? Aku kangen. Kapan bias ngeliat mereka lagi. Paling-paling nanti pas lebaran. Mbah Rukmo membatin. Apa lebaran ini aku masih bisa kumpul sama anak cucuku semua? Rasanya aku hampir menyerah pada usia yang tambah renta ini. Tapi sebelum usia benar-benar purna, aku ingin sekali mengunjungi ka’bah. Menyempurnakan agama. Agar tunai rukun Islamku. Tapi biaya dari mana? Pergi haji kan mahal sekali.
“Umroh saja dulu, Mbah,” kata Kirno. Panggilannya membiasakan Denis menyebut Mbah. “Murah. Cuma delapan belas juta. Nggak pake daftar segala lagi Mbah,” lanjutnya.
“Oh ya?” Mbah Rukmo semangat.
“Iya. Delapan Belas juta langsung berangkat.”
“Delapan belas juta?”
“Iya Mbah.”
 Mbah Rukmo membayangkan dari mana dapat uang delapan belas juta. Aku punya rumah yang sekarang aku tempati. Tapi kalau ini dijual, di mana Yuni dan keluarganya tinggal? Mana mungkin mereka bisa membayar kontrakan bulanan yang mahal-mahal. Lagian ntar aku juga tinggal di mana? Bisa umroh tapi tinggal di kolong jembatan. Walah!
Mbah Rukmo menghayalkan keempat anaknya urunan. Delapan belas juta kalau aku bagi berempat sekitar lima jutaan. Ah, apa mereka bisa dan mau urunan? Tak apalah, akan aku coba minta. Sekaligus aku ingin melihat anak yang mana yang paling peduli padaku.
Sesudah sholat isya dan mengaji, malam itu Mbah Rukmo memanggil Yuni dan Kirno.
“Yun, Bapak pingin sekali umroh,….” Mbah Rukmo menggantung kalimatnya. Melihat reaksi kedua anak mantunya.
“Kata suamimu, biayanya delapan belas juta.” Kirno manggut-manggut separuh ngantuk. Kayaknya sudah capek tadi siang manggul barang di pasar banyak sekali.
“Anak Bapak ada empat. Bapak minta tiap anak nyumbang lima juta,” lanjut Mbah Rukmo.
Kali ini Kirno membelalak. Tiba-tiba ngantuknya hilang. Yuni memandang ke arah suaminya. Sebelum keduanya menjawab apa-apa Mbah Rukmo minta Kirno menuliskan pesan sms.
“Assalamu alaikum, Bapak pingin umroh. Minta sumbangannya lima juta. Sukur-sukur kalau lebih. Ditunggu balasannya besok pagi jam delapan.” Tiga kali sms yang sama terkirim ke nomor yang berbeda.
“Sudah, No?”
“Sudah, Mbah,” jawab Kirno.
Sesudah itu Mbah Rukmo berangkat tidur dengan sesungging senyum di bibir. Tinggal tunggu bagaimana jawaban anak-anaknya besok. Perlahan ia mulai memejamkan mata sambil bergumam, “Labbaikallah humma labbaik…” Mbah Rukmo tertidur pulas.
Mbah Rukmo tidak mendengar pembicaraan Yuni dan Kirno malam itu.
“Mas, dari mana kita bisa menyumbang Bapak?” suara Yuni.
“Aku juga belum tahu, Yun. Mana mungkin mendapat lima juta dalam waktu singkat. Pendapatanku kan cuma cukup untuk masak harian saja,” suara Kirno.
“Apa bisa pinjam dari temanmu barangkali, Mas?” usul Yuni.
“Halah, teman-temanku ya kayak aku. Sama-sama buruh. Podho kerene,” sahut Kirno mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.
“Ya, jadi gimana ya? Dari mana?” Yuni mulali linglung.
“Padahal kakakmu yang di Surabaya kan orang kaya. Pengusaha,” Kirno berusaha mengingatkan Yuni. “Harusnya dia aja yang nanggung seluruh biaya umroh Bapak.”
“Ah, aku ragu. Mas Wardana kan jahat. Sering membenci Bapak. Dulu saja pernah diutang untuk pernikahan kita malah ngamuk-ngamuk. Katanya kita yang mau kawin kok dia yang harus keluar uang. Huh, mas macam apa dia.” Yuni mendengus.
“Iya, terlalu. Tapi kita juga sih yang salah. Kurang persiapan,” aku Kirno.
“Kita?  Kamu saja barangkali,” protes Yuni. “Kan kamu yang laki-laki.”
“Lah kamu juga salah,” Kirno berusaha berkelit. “Dah tau aku cuma buruh, kenapa mau sama aku?”
Mendengar jawaban suaminya Yuni jadi manyun. Kirno memegang pundak Yuni, berusaha menenangkannya.
“Gini aja Yun Cay, Yuni Cayang. Aku juga mampet. Kita doakan saja ya, Mas Wardana mau nolong Bapak. Niat Bapak kan baik. Allah pasti mengabulkan.” Ucapan dan sentuhan lembut Kirno itu memang sedikit melegakan hati Yuni. Manyunnya hilang,
“Ya sudah, kita tunggu dulu balasan sms dari yang lainnya ya, Mas.”
“He eh.”
^^^^^^
Lit tulat tulit tulat tulit…..sms masuk pertama. Dari Ranti.
“Assalamu alaikum, Pak. Semoga Bapak sehat saja. Ranti menangis baca sms Bapak. Ranti kan nggak kerja Yang punya gajian Mas Komar. Ranti belum berani bilang hari ini. Mungkin nanti malam, Pak.  Nanti Ranti kabari lagi.”
Kirno membacakan.
Lit tulat tulit tulat tulit….sms ke dua. Dari Yandi.
“Assalamu alaikum, Pak. Alhamdulillah Bapak mau umroh. Aku seneng banget dengernya. Mudah-mudahan terlaksana. Aku pasti bantu tapi nggak sekarang, Pak. Tunggu sekitar beberapa bulan lagi. Yang pegang keuangan kan istriku.”
Ketiga orang yang sedang mengerumuni hape itu saling berpandangan.
Lit tulat tulit tulat tulit…sms ke tiga. Pasti dari Mas Wardana. Sebentar ketiganya menghela napas dalam-dalam bersamaan. Seolah yang akan dibacanya ini yang paling penting dari semua. Semoga saja doa Yuni dan Kirno semalam terkabul.
“Kenapa Bapak mau umroh?” Kirno berhenti sejenak membaca sms. Dilihatnya Mbah Rukmo dan Yuni bergantian.
“Lanjutkan,” perintah Mbah Rukmo mengernyitkan alis.
“Yang wajib rukun Islam itu adalah ibadah haji. Itu juga kalau mampu. Kalau tidak ya tidak dipaksakan.” Kirno berhenti lagi.
“Apa Mas? Teruskan,” Yuni mulai geram.
“Umroh itu buat orang-orang yang sudah berangkat haji yang pingin ke Mekkah lagi. Kalau belum haji ya berhaji dulu. Kalau belum mampu ya tidak usah dulu. Nggak perlu umroh dulu.” suara Kirno makin pelan.
“Masih ada lagi, No?” tanya Mbah Rukmo menahan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.
Kirno tak berani meneruskan tapi Mbah Rukmo memaksa.
“… E …Kenapa Bapak e…. salah kaprah…..?” suara Kirno menghilang. Benar-benar sudah tidak bisa bernapas lagi. Ia melihat Yuni sudah mencak-mencak nggak karuan.
“Kurang ajar. Dasar anak tak tahu diri. Sudah kubilang dia tidak akan mau menyumbang. Boro-boro untk umroh, untuk makan harian Bapak aja nggak pernah ngirimin.”
Lit tulat tulit tulat tulit…sms lagi. Dari siapa lagi? Bukannya semua anak sudah?
“Aku di sini banyak kebutuhan. Biaya sekolah anak-anakku. Juga lesnya. Cicilan mobil, rumah. Belum belanja istriku bulanan. Pabrikku cuma satu. Aku juga ada karyawan yang harus kuperhatikan,”
 Lit tulat tul;it tulat tulit….
”Pokoknya aku nggak bisa bantu.”
Hati Mbah Rukmo seperti dipukuli palu berkali-kali.
“Sudah. Sudah’” Mbah Rukmo menutup pertemuan.
Ketiganya beranjak ke tempat tidur masing-masing. Sebelum tidur Mbah Rukmo berbisik. “Bu, Beginilah aku tanpamu.” Mbah Rukmo tertidur sambil menangis seiring gumamannya, “Labbaikalla humma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik ….”
Keesokan paginya Mbah Rukmo sibuk dengan kayu, triplek, paku, martil, gergaji, dan lain-lain.
Tak…tok…tak…tok!
Srek…srek…srek!
Denis ingin tahu, “Buat apa Mbah?”
Mbah Rukmo hanya tersenyum.
“Aku yang maku ya, Mbah?”
“Jangan, Sayang. Nanti kena tangan.”
“Aku pegangin aja deh, Mbah?”
Mbah Rukmo mencium Denis, “Minta mama spidol permanen ya, Cah Ganteng?”
Denis berlari mencari mamanya. Jadilah sebuah kotak berukuram 10x20x30 cm. Di tengah atas nya dibuat lubang memanjang sekitar 4 cm. Salah satu sisinya diberi engsel supaya mudah dibuka tutup.  Dan di depannya diberi gembok.
“Kok kayak celengan, Pak?’ Yuni menyodorka spidol.
Mbah Rukmo tersenyum saja. Diambilnya spidol lalu dituliskan di bagian depan dengan huruf besar.
“KOTAK UMROH”
“Kotak umroh? tanya Yuni.
“He-em. Delapan belas juta dibagi setahun satu juta setengah,” Mbah Rukmo mulai menjelaskan. “Satu juta setengah dibagi empat minggu jadi tiga ratus lima puluh ribu. Lima puluh ribu dibagi tujuh hari lima puluh ribu sehari. Bismillah saja, Ning,” jelas Mbah Rukmo.
Yuni terdiam.
“Nanti kalau punya uang bantu masukkan setiap hari berapa saja ya Ning?” pinta Mbah Rukmo tersenyum. Yuni mangangguk.
“Belum nanti dikasih sama Ranti sama Yandi. Mudah-mudahan nggak sampe setahun udah bisa terkumpul delapan belas juta.” Yuni mengaminkan ucapan ayahnya.
“Taruh di sana, Ning, di dalam buffet dekat Al-Qur’an.”
Yuni mengerjakan apa yang disuruh ayahnya.
^^^^
Setiap malam sebelum tidur, Mbah memegang kotaknya.
“Mana kotaknya, Ning?’ pinta Mbah Rukmo pada Yuni. Segera diraihnya kotak umroh dari tangan anaknya. Didekapnya erat-erat. Lalu mulai bibirnya menggumam.
”Labbaikallohumma labbaik…” Mbah Rukmo tertidur pulas.
Diam-diam Yuni dan Kirno menghubungi Ranti dan Yandi. Disepakatilah mereka bertiga yang akan menanggung biaya umroh Bapak. Kirno meminjam dari Koperasi Pasar enam juta. Mulanya pihak koperasi kurang yakin tapi Yuni dan Kirno menjelaskan untuk apa keperluan uang tersebut. Akhirnya kepala Koperasi Pasar tersentuh dan menyetujuinya. Sedang Ranti ikut arisan minta nomor dekat. Enam juta nanti akan dibayar dari sisa belanja harian yang diberi suaminya. Sementara Yandi meminjam pada istrinya setelah lima kali.
Delapan belas juta sudah terkumpul. Bukan main girang Mbah Rukmo. Mbah Rukmo bisa berangkat umroh.
^^^^^^^
Tanah Haram Mekkah. Mbah Rukmo memasuki gerbang masjidil Haram.
“Ya Allah, Alhamdulillah kau izinkan aku bersimpuh di rumah-Mu.”
Delapan hari Mbah Rukmo memuas-muaskan diri ibadah, zikir dan doa. Suatu hari selesai melaksanakan seluruh untaian ibadah di Tanah Haram itu, suatu pagi sesudah sholat sunnah, Mbah Rukmo duduk di dekat makam Nabi di Raudah. Dia mendoakan semua kebaikan demi dirinya, istrinya, anak dan cucunya Tiba-tiba dilihatnya Wardana di hadapannya sedang ditarik oleh cahaya putih ke atas sambil berteriak memanggil.
“Bapak …. Bapak …. Bapak .…” teriakannya begitu memilukan sampai-sampai dada Mbah Rukmo sesak. Teriakannya semakin terdengar pedih dan perih sekali.
“Ya Allah, ada apa dengan anakku, Wardana. Selamatkanlah ia Ya Allah. Selamatkanlah .…”
Dalam keadaan bingung ia pulang ke maktab dan segera menelepon Yuni.
“Ya Pak. Mas Wardana kecelakaan, Pak. Dia dari tadi memanggil-manggil nama Bapak terus. Doakan, Pak.”
Jleb!!! Mbah Rukmo menangis.
“Ya Allah pertemukan aku dengan anakku. Selamatkanlah ia. Aku tak pernah marah padanya. Beri kesempatan kepadanya menjadi manusia yang lebih alim dan abid kepada-Mu Ya allah.” Esoknya selesai ibadah umroh Mbah Rukmo langsung menuju rumah sakit. Enam jam Wardana melewati masa kritisnya. Dan ia menangis keras-keras dalam pelukan Mbah Rukmo.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar