MBAH RUKMO PINGIN UMROH
Mbah
Rukmo sudah tua. Usianya mulai mengujung. Bahkan belakangan dia sering
memimpikan istrinya. Mbah Rukmo kesepian semenjak istrinya wafat dua tahun yang
lalu. Untungnya anak ke empatnya, Yuni, tinggal bareng dengan Mbah Rukmo
setelah menikah dengan Kirno. Sedangkan tiga anak yang lain beserta mantu
cucunya jarang berkunjung.
Wardana,
anak pertama, di Surabaya. Dia sudah jadi pengusaha minyak sayur yang cukup
sukses di sana. Miranti, anak ke dua, dibawa suami. Dia jarang datang, biasanya
karena dilarang oleh suaminya itu. Yandi, anak ke tiga, tinggal bareng mertua
karena istrinya anak tunggal.
“Ada
apa, Bu? Kok sering datang? Apa mau menjemputku?” Lamunan Mbah Rukmo.
Tiba-tiba
terdengar suara tembakan mainan.
“Treet…tree…treeet….Dor!”
teriak Denis, anak Yuni.
“Aaaa…..,”
Mbah Rukmo terkulai lemas mati. Pura-pura.
“Ha…ha…ha…aku
menang…aku menang…,” seru Denis kegirangan.
Tiba-tiba
Mbah Rukmo bangun. Dengan serta merta pria tua itu memeluk Denis. Diciumi
cucunya satu itu.
“Aduh,
Cah Bagus, ngageti Mbah,” Mbah Rukmo tertawa terkekeh-kekeh. Teringat cucunya
yang lain. Gimana cucu-cucuku yang di sana ya? Aku kangen. Kapan bias ngeliat
mereka lagi. Paling-paling nanti pas lebaran. Mbah Rukmo membatin. Apa lebaran
ini aku masih bisa kumpul sama anak cucuku semua? Rasanya aku hampir menyerah
pada usia yang tambah renta ini. Tapi sebelum usia benar-benar purna, aku ingin
sekali mengunjungi ka’bah. Menyempurnakan agama. Agar tunai rukun Islamku. Tapi
biaya dari mana? Pergi haji kan mahal sekali.
“Umroh
saja dulu, Mbah,” kata Kirno. Panggilannya membiasakan Denis menyebut Mbah.
“Murah. Cuma delapan belas juta. Nggak pake daftar segala lagi Mbah,”
lanjutnya.
“Oh
ya?” Mbah Rukmo semangat.
“Iya.
Delapan Belas juta langsung berangkat.”
“Delapan
belas juta?”
“Iya
Mbah.”
Mbah Rukmo membayangkan dari mana dapat uang
delapan belas juta. Aku punya rumah yang sekarang aku tempati. Tapi kalau ini
dijual, di mana Yuni dan keluarganya tinggal? Mana mungkin mereka bisa membayar
kontrakan bulanan yang mahal-mahal. Lagian ntar aku juga tinggal di mana? Bisa
umroh tapi tinggal di kolong jembatan. Walah!
Mbah
Rukmo menghayalkan keempat anaknya urunan. Delapan belas juta kalau aku bagi berempat
sekitar lima jutaan. Ah, apa mereka bisa dan mau urunan? Tak apalah, akan aku
coba minta. Sekaligus aku ingin melihat anak yang mana yang paling peduli
padaku.
Sesudah
sholat isya dan mengaji, malam itu Mbah Rukmo memanggil Yuni dan Kirno.
“Yun,
Bapak pingin sekali umroh,….” Mbah Rukmo menggantung kalimatnya. Melihat reaksi
kedua anak mantunya.
“Kata
suamimu, biayanya delapan belas juta.” Kirno manggut-manggut separuh ngantuk.
Kayaknya sudah capek tadi siang manggul barang di pasar banyak sekali.
“Anak
Bapak ada empat. Bapak minta tiap anak nyumbang lima juta,” lanjut Mbah Rukmo.
Kali
ini Kirno membelalak. Tiba-tiba ngantuknya hilang. Yuni memandang ke arah
suaminya. Sebelum keduanya menjawab apa-apa Mbah Rukmo minta Kirno menuliskan
pesan sms.
“Assalamu
alaikum, Bapak pingin umroh. Minta sumbangannya lima juta. Sukur-sukur kalau
lebih. Ditunggu balasannya besok pagi jam delapan.” Tiga kali sms yang sama
terkirim ke nomor yang berbeda.
“Sudah,
No?”
“Sudah,
Mbah,” jawab Kirno.
Sesudah
itu Mbah Rukmo berangkat tidur dengan sesungging senyum di bibir. Tinggal
tunggu bagaimana jawaban anak-anaknya besok. Perlahan ia mulai memejamkan mata
sambil bergumam, “Labbaikallah humma labbaik…” Mbah Rukmo tertidur pulas.
Mbah
Rukmo tidak mendengar pembicaraan Yuni dan Kirno malam itu.
“Mas,
dari mana kita bisa menyumbang Bapak?” suara Yuni.
“Aku
juga belum tahu, Yun. Mana mungkin mendapat lima juta dalam waktu singkat.
Pendapatanku kan cuma cukup untuk masak harian saja,” suara Kirno.
“Apa
bisa pinjam dari temanmu barangkali, Mas?” usul Yuni.
“Halah,
teman-temanku ya kayak aku. Sama-sama buruh. Podho kerene,” sahut Kirno
mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.
“Ya,
jadi gimana ya? Dari mana?” Yuni mulali linglung.
“Padahal
kakakmu yang di Surabaya kan orang kaya. Pengusaha,” Kirno berusaha
mengingatkan Yuni. “Harusnya dia aja yang nanggung seluruh biaya umroh Bapak.”
“Ah,
aku ragu. Mas Wardana kan jahat. Sering membenci Bapak. Dulu saja pernah
diutang untuk pernikahan kita malah ngamuk-ngamuk. Katanya kita yang mau kawin
kok dia yang harus keluar uang. Huh, mas macam apa dia.” Yuni mendengus.
“Iya,
terlalu. Tapi kita juga sih yang salah. Kurang persiapan,” aku Kirno.
“Kita? Kamu saja barangkali,” protes Yuni. “Kan kamu
yang laki-laki.”
“Lah
kamu juga salah,” Kirno berusaha berkelit. “Dah tau aku cuma buruh, kenapa mau
sama aku?”
Mendengar
jawaban suaminya Yuni jadi manyun. Kirno memegang pundak Yuni, berusaha
menenangkannya.
“Gini
aja Yun Cay, Yuni Cayang. Aku juga mampet. Kita doakan saja ya, Mas Wardana mau
nolong Bapak. Niat Bapak kan baik. Allah pasti mengabulkan.” Ucapan dan
sentuhan lembut Kirno itu memang sedikit melegakan hati Yuni. Manyunnya hilang,
“Ya
sudah, kita tunggu dulu balasan sms dari yang lainnya ya, Mas.”
“He
eh.”
^^^^^^
Lit
tulat tulit tulat tulit…..sms masuk pertama. Dari Ranti.
“Assalamu
alaikum, Pak. Semoga Bapak sehat saja. Ranti menangis baca sms Bapak. Ranti kan
nggak kerja Yang punya gajian Mas Komar. Ranti belum berani bilang hari ini.
Mungkin nanti malam, Pak. Nanti Ranti
kabari lagi.”
Kirno
membacakan.
Lit
tulat tulit tulat tulit….sms ke dua. Dari Yandi.
“Assalamu
alaikum, Pak. Alhamdulillah Bapak mau umroh. Aku seneng banget dengernya.
Mudah-mudahan terlaksana. Aku pasti bantu tapi nggak sekarang, Pak. Tunggu
sekitar beberapa bulan lagi. Yang pegang keuangan kan istriku.”
Ketiga
orang yang sedang mengerumuni hape itu saling berpandangan.
Lit
tulat tulit tulat tulit…sms ke tiga. Pasti dari Mas Wardana. Sebentar ketiganya
menghela napas dalam-dalam bersamaan. Seolah yang akan dibacanya ini yang
paling penting dari semua. Semoga saja doa Yuni dan Kirno semalam terkabul.
“Kenapa
Bapak mau umroh?” Kirno berhenti sejenak membaca sms. Dilihatnya Mbah Rukmo dan
Yuni bergantian.
“Lanjutkan,”
perintah Mbah Rukmo mengernyitkan alis.
“Yang
wajib rukun Islam itu adalah ibadah haji. Itu juga kalau mampu. Kalau tidak ya
tidak dipaksakan.” Kirno berhenti lagi.
“Apa
Mas? Teruskan,” Yuni mulai geram.
“Umroh
itu buat orang-orang yang sudah berangkat haji yang pingin ke Mekkah lagi.
Kalau belum haji ya berhaji dulu. Kalau belum mampu ya tidak usah dulu. Nggak
perlu umroh dulu.” suara Kirno makin pelan.
“Masih
ada lagi, No?” tanya Mbah Rukmo menahan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam
hatinya.
Kirno
tak berani meneruskan tapi Mbah Rukmo memaksa.
“…
E …Kenapa Bapak e…. salah kaprah…..?” suara Kirno menghilang. Benar-benar sudah
tidak bisa bernapas lagi. Ia melihat Yuni sudah mencak-mencak nggak karuan.
“Kurang
ajar. Dasar anak tak tahu diri. Sudah kubilang dia tidak akan mau menyumbang.
Boro-boro untk umroh, untuk makan harian Bapak aja nggak pernah ngirimin.”
Lit
tulat tulit tulat tulit…sms lagi. Dari siapa lagi? Bukannya semua anak sudah?
“Aku
di sini banyak kebutuhan. Biaya sekolah anak-anakku. Juga lesnya. Cicilan
mobil, rumah. Belum belanja istriku bulanan. Pabrikku cuma satu. Aku juga ada
karyawan yang harus kuperhatikan,”
Lit tulat tul;it tulat tulit….
”Pokoknya
aku nggak bisa bantu.”
Hati
Mbah Rukmo seperti dipukuli palu berkali-kali.
“Sudah.
Sudah’” Mbah Rukmo menutup pertemuan.
Ketiganya
beranjak ke tempat tidur masing-masing. Sebelum tidur Mbah Rukmo berbisik. “Bu,
Beginilah aku tanpamu.” Mbah Rukmo tertidur sambil menangis seiring gumamannya,
“Labbaikalla humma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik ….”
Keesokan
paginya Mbah Rukmo sibuk dengan kayu, triplek, paku, martil, gergaji, dan
lain-lain.
Tak…tok…tak…tok!
Srek…srek…srek!
Denis
ingin tahu, “Buat apa Mbah?”
Mbah
Rukmo hanya tersenyum.
“Aku
yang maku ya, Mbah?”
“Jangan,
Sayang. Nanti kena tangan.”
“Aku
pegangin aja deh, Mbah?”
Mbah
Rukmo mencium Denis, “Minta mama spidol permanen ya, Cah Ganteng?”
Denis
berlari mencari mamanya. Jadilah sebuah kotak berukuram 10x20x30 cm. Di tengah atas
nya dibuat lubang memanjang sekitar 4 cm. Salah satu sisinya diberi engsel
supaya mudah dibuka tutup. Dan di
depannya diberi gembok.
“Kok
kayak celengan, Pak?’ Yuni menyodorka spidol.
Mbah
Rukmo tersenyum saja. Diambilnya spidol lalu dituliskan di bagian depan dengan
huruf besar.
“KOTAK
UMROH”
“Kotak
umroh? tanya Yuni.
“He-em.
Delapan belas juta dibagi setahun satu juta setengah,” Mbah Rukmo mulai
menjelaskan. “Satu juta setengah dibagi empat minggu jadi tiga ratus lima puluh
ribu. Lima puluh ribu dibagi tujuh hari lima puluh ribu sehari. Bismillah saja,
Ning,” jelas Mbah Rukmo.
Yuni
terdiam.
“Nanti
kalau punya uang bantu masukkan setiap hari berapa saja ya Ning?” pinta Mbah
Rukmo tersenyum. Yuni mangangguk.
“Belum
nanti dikasih sama Ranti sama Yandi. Mudah-mudahan nggak sampe setahun udah
bisa terkumpul delapan belas juta.” Yuni mengaminkan ucapan ayahnya.
“Taruh
di sana, Ning, di dalam buffet dekat Al-Qur’an.”
Yuni
mengerjakan apa yang disuruh ayahnya.
^^^^
Setiap
malam sebelum tidur, Mbah memegang kotaknya.
“Mana
kotaknya, Ning?’ pinta Mbah Rukmo pada Yuni. Segera diraihnya kotak umroh dari
tangan anaknya. Didekapnya erat-erat. Lalu mulai bibirnya menggumam.
”Labbaikallohumma
labbaik…” Mbah Rukmo tertidur pulas.
Diam-diam
Yuni dan Kirno menghubungi Ranti dan Yandi. Disepakatilah mereka bertiga yang
akan menanggung biaya umroh Bapak. Kirno meminjam dari Koperasi Pasar enam
juta. Mulanya pihak koperasi kurang yakin tapi Yuni dan Kirno menjelaskan untuk
apa keperluan uang tersebut. Akhirnya kepala Koperasi Pasar tersentuh dan
menyetujuinya. Sedang Ranti ikut arisan minta nomor dekat. Enam juta nanti akan
dibayar dari sisa belanja harian yang diberi suaminya. Sementara Yandi meminjam
pada istrinya setelah lima kali.
Delapan
belas juta sudah terkumpul. Bukan main girang Mbah Rukmo. Mbah Rukmo bisa
berangkat umroh.
^^^^^^^
Tanah
Haram Mekkah. Mbah Rukmo memasuki gerbang masjidil Haram.
“Ya
Allah, Alhamdulillah kau izinkan aku bersimpuh di rumah-Mu.”
Delapan
hari Mbah Rukmo memuas-muaskan diri ibadah, zikir dan doa. Suatu hari selesai
melaksanakan seluruh untaian ibadah di Tanah Haram itu, suatu pagi sesudah
sholat sunnah, Mbah Rukmo duduk di dekat makam Nabi di Raudah. Dia mendoakan
semua kebaikan demi dirinya, istrinya, anak dan cucunya Tiba-tiba dilihatnya
Wardana di hadapannya sedang ditarik oleh cahaya putih ke atas sambil berteriak
memanggil.
“Bapak
…. Bapak …. Bapak .…” teriakannya begitu memilukan sampai-sampai dada Mbah
Rukmo sesak. Teriakannya semakin terdengar pedih dan perih sekali.
“Ya
Allah, ada apa dengan anakku, Wardana. Selamatkanlah ia Ya Allah. Selamatkanlah
.…”
Dalam
keadaan bingung ia pulang ke maktab dan segera menelepon Yuni.
“Ya
Pak. Mas Wardana kecelakaan, Pak. Dia dari tadi memanggil-manggil nama Bapak
terus. Doakan, Pak.”
Jleb!!!
Mbah Rukmo menangis.
“Ya
Allah pertemukan aku dengan anakku. Selamatkanlah ia. Aku tak pernah marah
padanya. Beri kesempatan kepadanya menjadi manusia yang lebih alim dan abid
kepada-Mu Ya allah.” Esoknya selesai ibadah umroh Mbah Rukmo langsung menuju
rumah sakit. Enam jam Wardana melewati masa kritisnya. Dan ia menangis
keras-keras dalam pelukan Mbah Rukmo.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar