Sabtu, 20 Februari 2016

ORANG-ORANG DALAM LUKISAN
Sebenarnya Aliya sudah mengantuk. Namun suara-suara dari dalam ruangan itu mengusiknya. Ruangan itu sangat besar. Ada delapan lukisan dengan pemandangan alam berbeda-beda. Di salah satunya, air bergemericik di antara rumah anggur berwarna ungu cerah. Sementara lukisan lain, keluarga kupu-kupu tidur di atas rumah bebungaan. Lukisan lain lagi, beberapa ilmuwan tengah berkumpul di dekat teropong besar.
Aliya mendekat, menempatkan sebelah matanya di ujung lensa. Orang-orang dalam lukisan itu tersentak.
“Aku menemukan sesuatu!“ teriak Profesor Kecaprut. “Kelihatannya di angkasa sedang terjadi gerakan kosmis penuh cahaya!” Sontak orang-orang berkerumun. Aliya memelototkan matanya.
“Wuaaa … aku melihat mata! Dapat kupastikan itu memang sebuah mata. Mata yang teramat besar!” seru Profesor Kubnut.
“Itu mata Tuhan!” tiba-tiba Profesor Dambledut berseru. “Tuhan yang telah melukis kita. Tuhan yang membuat kita ada, “ lanjutnya berapi-api.
“Mana mungkin! Kau selalu saja mengaitkan apapun yang ada di luar semesta kita dengan tuhan!” kesal Profesor Kecaprut. “Astronomi membuat kita semakin modern. Dan manusia modern seperti kita tidak boleh kembali ke masa primitif.”
“Tuhan dan dewa hanya isapan jempol pengganti ketidaktahuan dan ruang tak terbuktikan terhadap metafisika,” seru Profesor Cabadut.
“Itu benar. Saya setuju,” timpal Profesor Kubnut.” Sebagian orang membungkusnya dengan dogma-dogma dan aturan ritual yang hanya memuaskan elemen kebodohan. Padahal dengan teropong tercanggih ini, kita bisa membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Semesta ada dengan sendirinya. Tanpa campur tangan siapa-siapa.”
“Ah, kalian, kita ciptakan teropong itu justru untuk membuktikan kemahabesaran-Nya,” keluh Dambledut.
“Hey, kau! Jangan sampai terulang kisah Profesor Gelael yang dulu pernah membuktikan bahwa lukisan tempat kita berdiam berbentuk segi empat. Tidak bundar seperti kitab-kitab buatan tangan mereka.”
“Sini kulihat lagi!” penasaran Prof Cabadut.
Aliya mengangkat wajah. Kini hidungnya yang ditempelkan.
“Itu bukan mata!” teriak Cabadut, “itu benda angkasa berbulu yang dipenuhi kawah-kawah komedo. Kuperkirakan usianya sudah jutaan tahun. Mungkin benda angkasa yang melayang abadi di udara!”
Para ilmuwan itu saling melempar teori.
“Hoaaahm ….” Aliya merasa semakin mengantuk. Ia bergerak mematikan lampu lalu meninggalkan ruangan.
“Baiklah, berakhir sudah. Cahaya kosmis  tiba-tiba   menghilang. Kita harus mengadakan penelitian lebih lanjut  benda angkasa yang lewat sekilas tadi. 
Esok, kita buat teropong yang lebih canggih lagi.”

Tamat
Cilincing, 17 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar