ORANG-ORANG DALAM LUKISAN
Sebenarnya Aliya sudah mengantuk. Namun suara-suara dari
dalam ruangan itu mengusiknya. Ruangan itu sangat besar. Ada delapan lukisan dengan
pemandangan alam berbeda-beda. Di salah satunya, air bergemericik di antara
rumah anggur berwarna ungu cerah. Sementara lukisan lain, keluarga kupu-kupu tidur
di atas rumah bebungaan. Lukisan lain lagi, beberapa ilmuwan tengah berkumpul
di dekat teropong besar.
Aliya mendekat, menempatkan sebelah matanya di ujung lensa.
Orang-orang dalam lukisan itu tersentak.
“Aku menemukan
sesuatu!“ teriak Profesor Kecaprut. “Kelihatannya di angkasa sedang terjadi
gerakan kosmis penuh cahaya!” Sontak orang-orang berkerumun. Aliya memelototkan
matanya.
“Wuaaa … aku melihat mata! Dapat kupastikan itu memang sebuah
mata. Mata yang teramat besar!” seru Profesor Kubnut.
“Itu mata Tuhan!” tiba-tiba Profesor Dambledut berseru.
“Tuhan yang telah melukis kita. Tuhan yang membuat kita ada, “ lanjutnya berapi-api.
“Mana mungkin! Kau selalu saja mengaitkan apapun yang ada di
luar semesta kita dengan tuhan!” kesal Profesor Kecaprut. “Astronomi membuat
kita semakin modern. Dan manusia modern seperti kita tidak boleh kembali ke
masa primitif.”
“Tuhan dan dewa hanya isapan jempol pengganti ketidaktahuan
dan ruang tak terbuktikan terhadap metafisika,” seru Profesor Cabadut.
“Itu benar. Saya setuju,” timpal Profesor Kubnut.” Sebagian
orang membungkusnya dengan dogma-dogma dan aturan ritual yang hanya memuaskan
elemen kebodohan. Padahal dengan teropong tercanggih ini, kita bisa membuktikan
bahwa tuhan tidak ada. Semesta ada dengan sendirinya. Tanpa campur tangan
siapa-siapa.”
“Ah, kalian, kita ciptakan teropong itu justru untuk
membuktikan kemahabesaran-Nya,” keluh Dambledut.
“Hey, kau! Jangan sampai terulang kisah Profesor Gelael yang
dulu pernah membuktikan bahwa lukisan tempat kita berdiam berbentuk segi empat.
Tidak bundar seperti kitab-kitab buatan tangan mereka.”
“Sini kulihat lagi!” penasaran
Prof Cabadut.
Aliya mengangkat wajah. Kini hidungnya yang ditempelkan.
“Itu bukan mata!” teriak Cabadut, “itu benda angkasa berbulu
yang dipenuhi kawah-kawah komedo. Kuperkirakan usianya sudah jutaan tahun.
Mungkin benda angkasa yang melayang abadi di udara!”
Para ilmuwan itu saling melempar teori.
“Hoaaahm ….” Aliya merasa semakin mengantuk. Ia bergerak
mematikan lampu lalu meninggalkan ruangan.
“Baiklah, berakhir sudah. Cahaya kosmis tiba-tiba
menghilang. Kita harus mengadakan penelitian lebih lanjut benda angkasa yang lewat sekilas tadi.
Esok,
kita buat teropong yang lebih canggih lagi.”
Tamat
Cilincing, 17 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar