Sabtu, 20 Februari 2016

SI GIMBAL

Tak pernah kusangka akan bertemu dan jatuh hati kepadanya. Seorang pria berkulit hitam, yang badannya besar dan berambut gimbal. Dia berasal dari Bojonegoro. Sebuah desa di  pegunungan Dieng.

“Dik, aku yang main gitar, adik yang baca puisi ya?”

“Baik, Mas.”

Lalu kami pun menghabiskan waktu dengan nembang dan membaca syair-syair.

Konon dahulunya di gunung Dieng bersemayam dua arwah yang saling mencintai. Namun keduanya tak mendapat restu dari orang tua, sehingga memutuskan untuk kawin lari. Lalu tinggal di gunung tersebut. Orang tua mereka mengutuk dan jadilah anak keturunan mereka memiliki rambut gimbal.

Rambut yang seperti ijuk, keras, kasar dan sulit dipangkas. Baik wanita maupun prianya memiliki rambut gimbal yang sangat panjang, karena sejak kecil tak berani mengguntingnya. Apabila berani, maka tak lama kemudian akan sakit, bahkan sampai menyebabkan kematian.

“Malam minggu depan Mas akan datang lagi. Nanti kapan-kapan Mas ajak acara ruwatan tahunan ya, Dik. Tunggu saja,” katanya sambil tersenyum.

Aku pun balas tersenyum mengantarnya dari balik pagar.

Tiba-tiba ibu sudah ada di sampingku.

“Pokoknya ibu tidak setuju dengan pilihanmu!” Suara ibuku sungguh membuat hatiku pecah.

Mas Gimbal yang kukenal selama ini sangatlah baik. Suaranya halus, tak pernah marah, dan selalu setia serta melindungiku ke mana saja pergi.

“Jangan begitu, Bu. Jangan menilai orang dari luarnya. Kan belum tentu luarnya kasar hatinya kasar juga?” bela bapakku. Aku masih bersukur karena bapak mau berpihak padaku.

“Ah pokoknya aku nggak suka. Jijik. Tidak pantas anak kita bersanding dengan lelaki berkulit hitam dan berambut seperti orang jarang mandi itu.”

Ah ibu nggak tahu. Mas Gimbal pandai bernyanyi dan membaca puisi. Sholatnya pun rajin.

“Nanti kalau ibu punya cucu, rambutnya akan gimbal seperti itu. Bagaimana bisa ibu sisiri dan hias dengan pita-pita atau bando? Nggak lucu,” ucap ibu masih sambil bersungut-sungut.

Aku tersenyum mengingat kejadian tujuh tahun silam. Bapak dan Ibu menyambut di pintu sambil menggandeng Chacha, putri sulung kami. Rambutnya yang gimbal kuurai dengan hiasan pita panjang.

"Ayo, Nak. Cium tangan Eyang," perintah Mas Gimbal kepadanya.


Cilincing, 150415 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar