Selasa, 23 Februari 2016

SEBUAH WASIAT


Sonya ingin sekali mengumpat dalam hati. Pikirannya berkecamuk. Mukena kusut dan dekil yang dipakainya bergerak-gerak. Wanita itu ingin sekali marah-marah di sela bacaan salatnya.

Ya Allah. Bagaimana mau khusuk kalau mikirin perut keroncongan begini?

Diliriknya gadis kecil di samping kiri. Anak tunggalnya, Mutia terlihat tenang. Bagamana bisa anak kecil itu lebih baik sembahyangnya dari dirinya sendiri?

“Assalamu alaikum warahmatullah. Assalamu alaikum warahmatullah ….”

Suara imam menutup sembahyang berjamaah.

Dengan lemah dilipatnya mukena dan diletakkan kembali di atas rak ujung musala. Diikuti oleh Mutia.
Ditariknya sang anak ke samping.

“Heh, perutmu nggak lapar?” Sonia setengah berbisik.

”Lapar, Mak.”

“Kok kamu tenang-tenang saja?”

“Kalau salat kan harus konsentrasi, Mak.”

“Halah mana bisa kalau perut kerincingan begini?” Sonia menunjuk perut yang kurus kerempeng.

“Ayo, cari duit lagi.”

Sang anak mengikuti ibunya tergesa-gesa tanpa berbicara apa-apa lagi.

Sampai di luar, suasana pasar masih seperti semula. Riuh, panas, sesak oleh penjual dan para pembeli . Teriakan para pedagang kaki lima saling bersahutan, cukup memekakkan telinga. Tapi kedua ibu dan anak itu sudah terbiasa.

Seorang wanita muda lewat membawa keranjang belanja.

“Sini, Bu. Saya bantu angkatin.”

“Oh, nggak usah. Ibu mau naik mikrolet saja.”

Sonia menggigit bibir bawahnya.

Tak berapa lama dilihatnya seorang nenek yang membawa belanjaan cukup banyak.

“Saya bantu ya, Bik?” pintanya.

Nenek itu menoleh dan menggoyangkan tangannya. Sekonyong-konyong mengangkat belanjaannya ke atas punggung dan mengikatnya dengan emban.

Sonia kembali mengepalkan tangannya dengan kesal. Sejak pagi sampai zuhur begini baru dua orang yang mau dibantunya. Itu pun hanya memberi upah seribu perak. Cukup apa? Perutnya keroncongan hanya diisi air es teh selama enam jam ini. Anaknya juga.

Mata Sonia nanar. Diperhatikannya tiap orang yang berbelanja. Mereka rata-rata membawa dompet begitu saja di tangan. Kelihatannya para ibu itu sibuk sekali memilih atau menawar sayuran atau belanjaan lain.

Mungkinkah ia dapat mengambil kesempatan untuk memindahkan dompet atau sekadar uang sepuluh ribuan yang menyelip di kantong baju mereka? Ah, tidak. Itu dulu. Sebelum ayah Mutia meninggal. Dan mewasiatkan untuk mencari pekerjaan yang halal dan senantiasa menjaga salat lima waktu.

Tiba-tiba Mutia menarik tangan Sonia dan berbisik.

“Mak, lihat itu!” Gadis kecil itu menunjuk ke arah pedagang peci yang digelar di lantai pasar.

Mata Sonia membelalak menyaksikan. Seorang bapak tengah berjongkok memilih-milih beberapa peci. Lalu sebagian dicobakannya di kepala.

Bukan bapak itu yang menjadi fokus perhatian kedua perempuan itu. Tapi seseorang di samping bapak itu. Seorang lelaki muda yang sedang menyelipkan tangannya di saku sang bapak berpeci.

Tiba-tiba mata mereka bersirobok.

Deg!

Jantung Sonia berpacu cepat. Merasa diawasi, si pencopet melotot. Sinar matanya menyiratkan sebuah ancaman.

“Mak …,” bisik Mutia ketakutan.

Menyadari bahaya, Sonia menarik tangan anaknya, mengajaknya pergi dari tempat itu.

“Sudah, kita pergi saja dari sini. Itu bukan urusan kita.”

“Mak, orang itu mau apa?” tanya Mutia.

“Sssst, diam.”

“Kayaknya orang itu mau ngambil uang, Mak.”

“Hus! Diam.”

“Cepat, kasih tahu bapak itu, Mak. Kasihan kalau sampai dompetnya hilang. Padahal kan kita melihatnya, ya?”

“Hus, diam kubilang. Ayo cepat pergi.”

“Tapi, Mak ….”

Mutia bergegas jalan menuruti ibunya, namun matanya masih dilayangkan ke arah orang yang hendak mencuri tadi.

Kedua orang itu berjalan di antara kerumunan pasar.

Tiba-tiba terdengar keributan. Teriakan marah, suara pukulan dan caci maki bersatu padu dengan suara orang mengaduh.

“Ampuuun … ampuuun … Pak ….”

Keduanya menoleh. Orang-orang berkerumun di tempat yang baru saja mereka lalui tadi.

"Tolong, Pak ... sudah, Pak ... ampun ...."

Apakah …?

Ya. Benar. Lelaki muda itu sedang dipukuli beramai-ramai. Ia terjatuh dan sia-sia saja melindungi tubuhnya dengan dua tangan. Wajahnya bengkak, biru dan sedikit berdarah. Dua orang itu saling memandang dan bergidik melihatnya.

“Ayo, Nak, cepat pergi ….”

Air mata hampir jatuh di ujung netra Sonia. Terbayang jelas di pelupuk matanya, suaminya meninggal satu jam setelah pencuriannnya yang terakhir.


Cilincing, 4 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar