PESAN MENJELANG PERSALINAN
Allahummah faz waladi madama fi batni
Anta syafi’ laa syifa’a illa syifauka
La yughadiru saqama ….
Allahumma shawwirhu fi batni shurotan hasanatan
Kasuroti Nabi Yusuf alaihi salam
Wa tsabbit qalbahu imanan bika wabi rasulika
Allahumma tawwil umrahu wasahhih jasadahu wa hassin khuluqahu
wafsih lisanahu Wahsin shoutahu liqira’atil qur’ani wal hadits
Bibarakati Muhammadin sallallahu alaihi wa sallam
“Baca doa itu sering-sering selama hamil hingga menjelang lahiran nanti.” Itu pesan ibuku.
“Nanti kalau mau lahiran, sering-sering mengepel dengan berjongkok ya, La,” pesan ibu mertua.
“Saat keram perutnya nanti, tengoklah jam, kalau masih keramnya selang sejam jangan buru-buru ke dokter. Itu berarti baru pembukaan satu.”
“Oh, begitu.”
“Ya, kalau keramnya sudah tiap lima menit baru ke rumah sakit.”
“Iya,” sahutku.
“Nah, kalau mengejan nanti, jangan bersuara.”
“Jangan bersuara bagaimana?”
“Jangan mengerang. Cukup katupkan gigi dengan gigi, lalu mengejan tanpa suara.”
“Memang kenapa, Ma?” tanyaku pada keduanya.
“Mencegah kejang pada otot leher.”
“Oh” sahutku.
“Lalu pandangan mata diarahkan ke bundaran perut.”
“Bukan bundaran HI, Ma?’ tawaku cekikikan.
“Huss! Jauh banget,”
“Hahaha,” aku tertawa.
“Kedua tangan memegang paha bagian dalam.”
“Terus jangan sekali-kali mengangkat bokong.”
“Kenapa lagi itu, Ma?”
“Supaya tidak mendapat jahitan.”
“O, gitu. Iya iya akan kuingat-ingat semua, aku cataaat,” teriakku.
Saat melahirkan tiba, perutku terasa sangat mulas. Belum apa-apa aku sudah menangis.
“Mamaaa …!” teriakku.
Aku lupa semua ajaran kedua wanita yang sama-sama punya pengalaman melahirkan sembilan kali itu.
Tamat
Anta syafi’ laa syifa’a illa syifauka
La yughadiru saqama ….
Allahumma shawwirhu fi batni shurotan hasanatan
Kasuroti Nabi Yusuf alaihi salam
Wa tsabbit qalbahu imanan bika wabi rasulika
Allahumma tawwil umrahu wasahhih jasadahu wa hassin khuluqahu
wafsih lisanahu Wahsin shoutahu liqira’atil qur’ani wal hadits
Bibarakati Muhammadin sallallahu alaihi wa sallam
“Baca doa itu sering-sering selama hamil hingga menjelang lahiran nanti.” Itu pesan ibuku.
“Nanti kalau mau lahiran, sering-sering mengepel dengan berjongkok ya, La,” pesan ibu mertua.
“Saat keram perutnya nanti, tengoklah jam, kalau masih keramnya selang sejam jangan buru-buru ke dokter. Itu berarti baru pembukaan satu.”
“Oh, begitu.”
“Ya, kalau keramnya sudah tiap lima menit baru ke rumah sakit.”
“Iya,” sahutku.
“Nah, kalau mengejan nanti, jangan bersuara.”
“Jangan bersuara bagaimana?”
“Jangan mengerang. Cukup katupkan gigi dengan gigi, lalu mengejan tanpa suara.”
“Memang kenapa, Ma?” tanyaku pada keduanya.
“Mencegah kejang pada otot leher.”
“Oh” sahutku.
“Lalu pandangan mata diarahkan ke bundaran perut.”
“Bukan bundaran HI, Ma?’ tawaku cekikikan.
“Huss! Jauh banget,”
“Hahaha,” aku tertawa.
“Kedua tangan memegang paha bagian dalam.”
“Terus jangan sekali-kali mengangkat bokong.”
“Kenapa lagi itu, Ma?”
“Supaya tidak mendapat jahitan.”
“O, gitu. Iya iya akan kuingat-ingat semua, aku cataaat,” teriakku.
Saat melahirkan tiba, perutku terasa sangat mulas. Belum apa-apa aku sudah menangis.
“Mamaaa …!” teriakku.
Aku lupa semua ajaran kedua wanita yang sama-sama punya pengalaman melahirkan sembilan kali itu.
Tamat
Jakarta, 14 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar