Selasa, 23 Februari 2016

TAKDIR SEBUAH HARAPAN   

Versi 2


Harapan adalah tipuan. Harapan adalah udara di ujung sedotan saat terkungkung dalam sumur kegelapan. Kita bisa menghirupnya tapi tak dapat hidup lama dengannya. Dan kau, Danu, kau pria tertampan pertama yang kukenal. Aku mencintaimu setulus hati. Kau serupa angin yang selalu mengiringiku.

“Dan, kapan kau mau melamarku?”

Kau masih duduk di salah satu ayunan besi itu. Mulai mengayunkan kaki, lalu bergerak maju mundur. Angin memainkan rambutmu.

“Entahlah. Aku tak tahu.”

Selalu itu saja jawabanmu. 

“Kau tak ingin kita beriringan di depan altar? Mengenakan warna kontras hitam putih, melempar buket pada para jejaka dan gadis di sana?”

Kau payah, Dan, sama persis dengan ayunan itu. Hanya bergerak maju mundur, tak pernah sampai ke satu titik tertentu. Aku mulai bosan. Andai aku pergi, kau tentu akan tinggal di tempat. Menunggu orang lain datang memontang-pantingkanmu ke sana ke mari saja.

Kulantunkan munajat setiap malam. Kutulis harapan itu pada kertas, kumasukkan dalam botol, kulempar ke laut sejauh bisa. Berharap suatu saat yang menemukannya mengadukan pada langit.

Kutulis lagi surat yang lain. Kuletakkan di bawah bantal. Bermimpi kau melamarku dalam tidur. Kutitipkan surat itu pada pria-pria salih di gereja, wihara dan masjid. Tapi sekian waktu kau masih saja ambigu.

“Dan, sampai kapan begini?”

Kau tertunduk. Tubuh masih disandarkan di atas kursi besi bertali itu.

Kutulis lagi harapan pada selembar kain salat, sepanjang sisi kiri hingga kanannya. Barangkali kali ini Tuhan mau membacanya. Tapi, selain tak mendengar, Tuhan pun tak membaca tulisanku.

Aku marah. Kesal. Tak ingin mengharapkan apa-apa lagi. Hingga suatu hari anakku menarik tanganku, menuntun pada sebuah pusara.

“Mama, sudah dua puluh tahun. Relakan ….”

Ah, Nak, kau sudah besar. Kau cantik sekali. Matamu cokelat. Wajahmu bulat. Kau mewarisi gen pria angin itu.

“Apa yang masih mama harapkan?”

Baiklah, anakku. Aku ingin bercerita tentang pria angin yang sangat kucintai.

Lalu aku mulai menceritakannya pada putriku. Lalu pada setiap orang yang lewat. Lalu aku mulai mengungkapkannya juga pada burung, kucing, ikan di akuarium. Lihatlah, mereka tertawa. Orang-orang di luar sana kini semua tertawa kepadaku. Dan aku mampu tersenyum sepanjang waktu. Hanya anakku saja yang kelihatan masih bersedih.

Tamat

Jakarta, 2 Pebruari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar