TAKDIR SEBUAH HARAPAN
Versi 2
Harapan adalah tipuan. Harapan adalah
udara di ujung sedotan saat terkungkung dalam sumur kegelapan. Kita bisa
menghirupnya tapi tak dapat hidup lama dengannya. Dan kau, Danu, kau pria
tertampan pertama yang kukenal. Aku mencintaimu setulus hati. Kau serupa angin
yang selalu mengiringiku.
“Dan, kapan kau mau melamarku?”
Kau masih duduk di salah satu ayunan
besi itu. Mulai mengayunkan kaki, lalu bergerak maju mundur. Angin memainkan
rambutmu.
“Entahlah. Aku tak tahu.”
Selalu itu saja jawabanmu.
“Kau tak ingin kita beriringan di
depan altar? Mengenakan warna kontras hitam putih, melempar buket pada para
jejaka dan gadis di sana?”
Kau payah, Dan, sama persis dengan
ayunan itu. Hanya bergerak maju mundur, tak pernah sampai ke satu titik
tertentu. Aku mulai bosan. Andai aku pergi, kau tentu akan tinggal di tempat.
Menunggu orang lain datang memontang-pantingkanmu ke sana ke mari saja.
Kulantunkan munajat setiap malam.
Kutulis harapan itu pada kertas, kumasukkan dalam botol, kulempar ke laut
sejauh bisa. Berharap suatu saat yang menemukannya mengadukan pada langit.
Kutulis lagi surat yang lain. Kuletakkan
di bawah bantal. Bermimpi kau melamarku dalam tidur. Kutitipkan surat itu pada
pria-pria salih di gereja, wihara dan masjid. Tapi sekian waktu kau masih saja
ambigu.
“Dan, sampai kapan begini?”
Kau tertunduk. Tubuh masih
disandarkan di atas kursi besi bertali itu.
Kutulis lagi harapan pada selembar
kain salat, sepanjang sisi kiri hingga kanannya. Barangkali kali ini Tuhan mau
membacanya. Tapi, selain tak mendengar, Tuhan pun tak membaca tulisanku.
Aku marah. Kesal. Tak ingin
mengharapkan apa-apa lagi. Hingga suatu hari anakku menarik tanganku, menuntun
pada sebuah pusara.
“Mama, sudah dua puluh tahun. Relakan
….”
Ah, Nak, kau sudah besar. Kau cantik
sekali. Matamu cokelat. Wajahmu bulat. Kau mewarisi gen pria angin itu.
“Apa yang masih mama harapkan?”
Baiklah, anakku. Aku ingin bercerita
tentang pria angin yang sangat kucintai.
Lalu aku mulai menceritakannya pada
putriku. Lalu pada setiap orang yang lewat. Lalu aku mulai mengungkapkannya
juga pada burung, kucing, ikan di akuarium. Lihatlah, mereka tertawa. Orang-orang
di luar sana kini semua tertawa kepadaku. Dan aku mampu tersenyum sepanjang
waktu. Hanya anakku saja yang kelihatan masih bersedih.
Tamat
Jakarta, 2 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar