TAKDIR SEBUAH HARAPAN
Berharap. Setiap orang pasti punya
harapan. Tapi tidak aku. Sudah lama aku tak mau lagi berharap. Percuma. Harapan itu ibarat udara di
ujung sedotan saat terkurung dalam sumur kegelapan. Aku bisa menghirupnya tapi tak
dapat hidup lama dengannya. Harapan adalah tipuan.
Dan Danu, kau pria tertampan pertama
yang kukenal. Aku mencintaimu setulus hati. Bahkan namamu serupa dengan angin
yang terus bergerak mengikutiku.
“Dan, kapan kau mau menikahiku?”
Kau terdiam. Hanya duduk di salah
satu besi itu. Mulai mengayunkan kaki, lalu bergerak maju mundur.
“Entahlah. Aku tak tahu.”
Kau payah, Dan. Selalu itu saja
jawabanmu. Bahkan kematiannya tak lantas membuatmu mengerlingku. Mengapa kau
tak mau melupakannya? Dan lihat perutku. Aku berharap kita beriringan di depan
altar. Mengenakan warna kontras hitam putih dan melempar buket ke arah para
jejaka dan gadis di sana.
“Dan, sampai kapan kita begini?”
Kau tertunduk.
Tubuh masih kau sandarkan di atas
kursi besi bertali itu. Kau sama persis dengan ayunan itu, Dan. Hanya bergerak
maju mundur tak pernah sampai ke satu titik tertentu. Kau tak pernah bisa
memberi keputusan apa-apa.
Aku mulai bosan. Andai aku pergi Dan,
kau tentu akan tinggal di tempat. Menunggu orang lain datang memontang-pantingkanmu
ke sana ke mari saja.
Baiklah, aku pergi saja sekarang.
Tapi tidak, Dan. Ternyata waktu tak
sanggup memberanguskanmu.
Aku masih terkungkung dalam lamunan,
barangkali saja Tuhan mau mengabulkan doaku. Kulantunkan munajat di setiap
sepertiga malam. Kutulis harapan itu pada sepotong kertas, kumasukkan dalam
botol, kulempar sejauh bisa ke arah laut sana. Berharap suatu saat bila ada
yang menemukannya ia akan mengadukannya pada langit.
Kutulis lagi. Kuletakkan di bawah
bantal. Berharap kau melamarku dalam tidur. Tapi itu tak pernah terwujud.
Kemudian surat itu kutitipkan pada
pria-pria salih. Di gereja-gereja, wihara-wihara dan masjid-masjid, agar Tuhan
mau membaca harapanku. Tapi sekian waktu kau masih saja ambigu. Tak ada apa-apa
di sana, Dan. Tak ada tubuh ringkih yang pernah kau puja dulu.
Aku marah. Kesal. Tak mau lagi
berharap. Dan tak mau menginginkan apa-apa lagi. Hingga suatu hari putrimu
menarik tanganku, menuntun pada sebuah pusara.
“Mama, sudah dua puluh tahun. Relakan
….”
Tamat
Jakarta, 2 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar