Sabtu, 20 Februari 2016

TAKDIR SEBUAH HARAPAN 
Berharap. Setiap orang pasti punya harapan. Tapi tidak aku. Sudah lama aku tak mau lagi  berharap. Percuma. Harapan itu ibarat udara di ujung sedotan saat terkurung dalam sumur kegelapan. Aku bisa menghirupnya tapi tak dapat hidup lama dengannya. Harapan adalah tipuan.
Dan Danu, kau pria tertampan pertama yang kukenal. Aku mencintaimu setulus hati. Bahkan namamu serupa dengan angin yang terus bergerak mengikutiku.
“Dan, kapan kau mau menikahiku?”
Kau terdiam. Hanya duduk di salah satu besi itu. Mulai mengayunkan kaki, lalu bergerak maju mundur.
“Entahlah. Aku tak tahu.”
Kau payah, Dan. Selalu itu saja jawabanmu. Bahkan kematiannya tak lantas membuatmu mengerlingku. Mengapa kau tak mau melupakannya? Dan lihat perutku. Aku berharap kita beriringan di depan altar. Mengenakan warna kontras hitam putih dan melempar buket ke arah para jejaka dan gadis di sana.
“Dan, sampai kapan kita begini?”
Kau tertunduk.
Tubuh masih kau sandarkan di atas kursi besi bertali itu. Kau sama persis dengan ayunan itu, Dan. Hanya bergerak maju mundur tak pernah sampai ke satu titik tertentu. Kau tak pernah bisa memberi keputusan apa-apa.
Aku mulai bosan. Andai aku pergi Dan, kau tentu akan tinggal di tempat. Menunggu orang lain datang memontang-pantingkanmu ke sana ke mari saja.
Baiklah, aku pergi saja sekarang.
Tapi tidak, Dan. Ternyata waktu tak sanggup memberanguskanmu.
Aku masih terkungkung dalam lamunan, barangkali saja Tuhan mau mengabulkan doaku. Kulantunkan munajat di setiap sepertiga malam. Kutulis harapan itu pada sepotong kertas, kumasukkan dalam botol, kulempar sejauh bisa ke arah laut sana. Berharap suatu saat bila ada yang menemukannya ia akan mengadukannya pada langit.
Kutulis lagi. Kuletakkan di bawah bantal. Berharap kau melamarku dalam tidur. Tapi itu tak pernah terwujud.
Kemudian surat itu kutitipkan pada pria-pria salih. Di gereja-gereja, wihara-wihara dan masjid-masjid, agar Tuhan mau membaca harapanku. Tapi sekian waktu kau masih saja ambigu. Tak ada apa-apa di sana, Dan. Tak ada tubuh ringkih yang pernah kau puja dulu.
Aku marah. Kesal. Tak mau lagi berharap. Dan tak mau menginginkan apa-apa lagi. Hingga suatu hari putrimu menarik tanganku, menuntun pada sebuah pusara.
“Mama, sudah dua puluh tahun. Relakan ….”
Tamat
Jakarta, 2 Pebruari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar