Senin, 22 Februari 2016

SINES


Saat itu bulan Ramadhan. Kutinggalkan kampung halaman karena ingn mencari uang. Kebetulan seorang kerabatku yang tinggal di Jakarta mengatakan ada lowongan kerja di pabrik garmen. Alhamdulillah. Aku pun melamar di sana dan diterima.

Namun saat ini kepalaku pusing. Kata Pakde, di kampung sakit ibu tambah parah. Sewaktu  kutinggalkan, ibu memang sedang sakit.

"Tengok dulu ibumu, In."

Aku baru saja diterima bekerja. Meminta ijin sekarang berarti sama saja mengajukan pengunduran diri. Pegawai yang tidak masuk sehari saja, langsung dikeluarkan. Yang mengantri melamar setiap hari penuh sesak di depan pabrik. Aku sedih mendengar nasihat pakde.

"Bagaimana mau pulang? Lah, pekerjaanku liburnya nanti, tiga hari sebelum lebaran.”

"Ya disempatkan toh? Ibumu sakit! Kasihan kan, cuma dijaga Sines. Kamu tahu sendiri Sines itu gimana?”

Perkataan Pakde membuat hatiku bertambah miris. Aku menarik napas panjang.

“Bagaimana ini?” keluhku. “Dia kan rajin, Pakde. Dia pintar merawat rumah seperti selama ini dia merawat kami.”

“Bukan soal merawatnya, tapi kalau penyakit ibumu kambuh tiba-tiba, apa dia bisa membawa ibumu ke puskesmas? Ke mantri? Ke dokter?”

Oh, Tuhan. Aku galau berat.

Benar juga kata pakdeku. Sines itu saudaraku yatim yang mengikuti keluarga kami sejak kecil. Pada saat usianya remaja ia pernah mengalami sakit panas tinggi yang menyebabkan kesulitan bicara dan berpikir selayaknya usianya.

Dia memang rajin, terakhir aku percayakan untuk mengawasi ibu. Dan dia cukup apik melakukannya. Apalagi saat aku ke Jakarta ibu sudah baikan. Tapi benar juga kata Pakde, dia tak mugkin dipercaya soal penyakit ibu.

Dengan hati gelisah kubuka handphone. Jam pabrik baru saja usai. Kupilih nomor ibu di kampung dan memulai percakapan

"Hallo, salam likum,” sapaku.

“Hum halam.” Terdengar suara berat dengan kalimat yang khas

“Ini Sines, ya? tanyaku.

“Hiya, hini Hines. Mba Hina, ya?” terdengar suaranya. Semua kata selalu diberi tambahan h seperti itu.

“Iya, ini mbak Ina. Gimana keadaan ibu?”

“Hibu hudah meninghahhh, Mbak,” katanya terbata-bata.

Apa? Ibu sudah meninggal? Astaghfirullahal azim. Serta merta aku terduduk lemas. Mataku mulai berair. Penyesalan menyeruak di dada, mengapa lebih mementingkan pekerjaan ketimbang kondisi ibu.

“Ibuuu ...,” jeritku pilu.

Segera kukemasi baju seadanya. Malam itu pula aku maghriban dan buka puasa di jalan. Tak lupa kutelepon beberapa kerabat yang lain. Air mata tak hentinya menetes di pipi sepanjang perjalanan. Pakde pun marah dan berjanji segera datang.  Perlu waktu empat jam naik bus sampai di kampungku.

Tepat pukul 10.00 aku baru sampai di rumahku di Pemalang.

“Sineees ...!” teriakku menggedor pintu

Sampa tiga kali teriak, barulah Sines keluar sambil mengucak matanya yang merah.

“Mba Hina hatang, mba Hina hatang!” serunya.

“Iya, iya.” Kulepaskan diri dari pelukannya.

“Sines, kenapa kamu tega nggak menemukan aku dengan ibu?” teriakku.


“Kuburannya di mana?” tangisku sesenggukan.

“Hiapa yhang dihubul, mbak?” Sines kelihatan kebingungan.

Tiba-tiba ibu keluar dari kamar.

“Ada apa ini? Ina, kenapa datang nggak bilang-bilang?” Ibu lantas mendekatiku.

Loh, kok? Apa itu arwah ibu yang masih mengitari rumah ini?

Serta merta kutarik Sines.

“Sines, itu ibu kan?”

“Ya hiya, Mba ….”

“Kamu bilang di telepon, ibu sudah meninggal.”

“Hiapa bilang meningah, Mba? Hibu udah mendingah, men-ding-ahhh,” jelas Sines.

Mendingan? O … Segera kupeluk ibu erat-erat. Terbayang aku tak dapat kembali bekerja di pabrik karena kebodohanku sendiri.


Cilincing, 16 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar